Rabu, 02 Oktober 2019



TEKNIK  PEMBENIHAN  KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)
DI CV. DWI JAYA DESA SANGGALANGIT KECAMATAN GEROKGAK KABUPATEN BULELENG
PROVINSI BALI




LAPORAN  PRAKTEK KERJA LAPANG IV
JURUSAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PERIKANAN

























Oleh:

Putra Gunawan Manalu
NIT. 10.3.02.124









KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN
AKADEMI PERIKANAN SIDOARJO
2012




I. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Diantara jenis ikan laut budidaya, ikan kerapu macan yang mempunyai nilai ekonomis penting dengan nilai ekspor cukup tinggi, bahkan pernah mencapai angka peningkatan ekspor sebesar 350 % yaitu 19 ton pada tahun 1987 dan 75 ton pada tahun 1988 (Deptan, 1990). Dengan semakin banyaknya permintaan ikan kerapu untuk pasaran domestic dan internasional, maka benih yang selama ini berasal dari alam akan sulit dipenuhi sehingga perlu dialihkan ke usaha pembenihan.
Budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan usaha budidaya yang sangat potensial dalam setiap usaha budidaya ikan.  Benih ikan merupakan salah satu sarana pokok yang harus tersedia dalam setiap usaha budidaya ikan serta harus mendapat perhatian dan penanganan yang khusus. Penyediaan benih ikan yang cukup merupakan salah satu faktor untuk menentukan keberhasilan bidang budidaya.
Untuk meningkatkan kadar benih ikan budidaya sebaiknya tidak mengandalkan dari usaha penangkapan ikan di alam. Akibat adanya penangkapan benih dari alam kemungkinan terjadi eksploitasi penangkapan ikan dialam secara berlebihan. Hal ini tentu saja akan merusak keseimbangan ekosistem dimasa mendatang, maka sudah sewajarnya kita kembangkan usaha budidaya agar tidak  terjadi kepunahan spesies tersebut. Dengan budidaya kita sudah menunjukkan perwujudan yang paling sederhana dan usaha peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
            Akhir-akhir ini tangkapan benih dari alam yang berkualitas baik dalam hal ukuran, mutu dan jumlah sangat menurun, sehingga benih merupakan kendala utama dalam pengembangannya. Sehubungan dengan kondisi tersebut maka sangat diharapkan ketersediaan benih-benih dari hatchery. Agar pembenihan yang dilakukan dapat berkualitas baik dan mencapai pasar luar negeri. Hal tersebut akan dapat memajukan bidang perikanan dalam negeri. Mutu benih yang baik merupakan faktor utama yang paling penting dalam hal budidaya ikan. Dengan demikian pemerintah membuat standar benih yang baik untuk di hatchery-hatchery agas ikan hasil budidaya berkualitas tinggi.

1.2      Tujuan
          Tujuan dari Praktek Kerja Lapang IV(PKL IV) ini adalah:
1.       Untuk mendapatkan  pengetahuan dan keterampilan tentang teknik
         pembenihan ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang
         dilaksanakan di CV. Dwi Jaya Desa Sanggalangit Kecamatan Gerokgak
         Kabupaten Buleleng Provinsi Bali
2.       Dapat menganalisa  usaha pembenihan kerapu macan di CV. Dwi Jaya Desa Gerokgak Kabupaten Buleleng Provinsi Bali.



II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Kerapu Macan
2.1.1 Taksonomi
            Menurut Randall (1987), klasifikasi ikan kerapu macan adalah sebagi berikut :
            Phylum            : Chordata
            Subphylum      : Vertebrata
            Class               : Osteichthyes
            Sub class        : Actinopterigi                                        
            Ordo                : Percomorphi
            Sub ordo         : Percoidea
            Family             : Serranidae
            Genus             : Epinephelus
            Spesies           : fuscoguttatus.
2.1.2 Morfologi
            Evalawaty (2001), mendiskripsikan morfologi ikan kerapu macan memiliki bentuk badan memanjang gepeng atau agak membulat, luasan antara pusat (kepala) datar cenderung  cekung. Kepala bagian depan untuk ikan dewasa terdapat lekukkan mata yang cekung sampai dengan sirip punggung. Preoperkulum membundar dengan pinggiran bergerigi dengan tepi bagian atas cekung menurun secara vertikal ke hampir ujung operkulum. Bagian tengah rahang bawah terdiri dari tiga atau empat baris gigi dengan barisan bagian dalam dua kali lebih panjang dari pada bagian luar. Tapis insang terdiri dari 10-12 tungkai atas dan 17-21 tungkai bawah dengan bagian  dasar tidak terhitung. Sirip punggung terdiri dari 14-15 tulang rawan dan 11 tulang keras dengan barisan ketiga atau keempat lebih panjang sedangkan pada sirip anus terdapat tiga tulang keras dan delapan tulang rawan dengan panjang
2,0-2,5 bagian panjang kepala. Warna tubuh coklat muda dengan lima seri tompel coklat besar yang tidak beraturan. Badan, kepala  dan sirip ditutupi oleh titik-titik kecil coklat dimana pada bagian tompel berwarna lebih gelap. Sirip ekor membundar dan mata besar menonjol. Panjang standar untuk ikan dewasa adalah 11-55 cm. Adapun lebih jelasnya morfologi ikan kerapu macan dapat dilihat pada Gambar 1.


                           
Gambar 1. Ikan kerapu macan
Sumber : www.google.com


                                     Gambar 1. Morfologi Kerapu Macan
Sumber : Evalawaty (2004)

2.1.3 Habitat Dan Penyebaran
            Daerah penyebaran ikan kerapu macan dimulai dari Afrika Timur, Kepulauan Ryukyu (Jepang selatan), Australia, Taiwan, Mikronesia dan Polinesia. Sedangkan di Indonesia ikan kerapu banyak ditemukan di perairan pulau Sumatra, Jawa, Sulawesi, Pulau Buru dan Ambon. Salah satu indikator adanya kerapu adalah perairan karang (Hermawan., 2004).
            Dalam siklus hidupnya kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-30 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7,0-40 m, biasanya perpindahan ini berlangsung pada siang dan senja hari. Telur dan larva bersifat pelagis sedangkan kerapu muda hingga dewasa bersifat demersal. Habitat favorit larva kerapu muda adalah pantai dekat muara sungai dengan dasar pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun. Larva kerapu pada umumnya menghindari permukaan air pada siang hari, sebaliknya pada malam hari banyak ditemukan di permukaan air. Penyebaran vertikal tersebut sesuai dengan sifat ikan kerapu sebagai organisme nokturnal, pada siang hari lebih banyak bersembunyi di liang-liang karang. Sedangkan pada malam hari aktif bergerak di kolom air untuk mencari makanan.
            Parameter kualitas air yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu temperatur antara 24-31 0C, salinitas antara 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut lebih besar dari 3,5 ppm dan pH antara 7,8-8,0. Perairan dengan kondisi tersebut pada umumnya terdapat di perairan terumbu karang Evalawaty (2001).
2.1.4 Kebiasaan Makan
            Evalawaty (2001), menyatakan ikan kerapu macan merupakan hewan karnivora, sebagaimana jenis-jenis ikan kerapu lainnya. Ikan kerapu macan dewasa adalah pemakan  ikan-ikan kecil, kepiting dan udang-udangan, sedangkan larvanya pemangsa larva moluska (trokofor), rotifer, mikro krustasea, kopepoda dan zooplankton. Sebagai ikan karnivora, kerapu  cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak di dalam kolam air. Ikan kerapu mempunyai kebiasaan  makan pada siang hari dan malam hari, namun lebih aktif pada waktu fajar dan senja hari.
            Kerapu biasa mencari makanan dengan menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya. Kerapu macan mempunyai kemampuan menangkap mangsa lebih  cepat dari pada kerapu jenis lain. Sebagai ikan karnivora, kerapu bersifat kanibalisme yang terjadi mulai pada larva kerapu berumur 30 hari, dimana pada saat itu larva cenderung berkumpul di suatu tempat dengan kepadatan tinggi. Berdasarkan perilaku makannya, ikan kerapu dewasa memangsa ikan-ikan kecil, crustasea dan chephalopoda yang menempati struktur tropik teratas dalam piramida rantai makanan.
            Setelah menetas sampai dengan hari ketiga larva mendapatkan pakan secara endogenus yaitu dengan mengabsorbsi kuning telur yang dibawanya. Kemudian mulai mendapatkan pakan secara eksogenus pada hari ketiga seiring dengan mulai terbukanya mulut. Sesuai dengan bukaan mulut, larva kerapu memangsa rotifera sebagai pakan pertama. Peralihan antara mendapatkan pakan secara endogenus ke eksogenus merupakan fase rawan pertama dalam perkembangan larva sehingga sering terjadi kematian massal antara 50-90%. 

2.2 Pengelolaan Induk
2.2.1 Pengadaan Induk
Induk dapat berasal dari alam atau hasil budidaya. Induk yang ditangkap dari alam harus dipilih yang sehat dan ditangkap dengan alat tangkap berupa bubu, pancing, tau jarring. Sebaiknya jangan menangkap induk dengan bahan kimia. Untuk membedakan induk jantan dan betina dapat dilihat dari penampakan tubuhnya. Bagian perut induk betina tampak lebih besar, sedangkan induk jantan lebih ramping. Berat total induk betina minimal 1 kg dan induk jantan 2,5 kg (Akbar dan Sudaryanto, 2001).
2.2.2 Pemeliharaan Induk
Induk yang baru datang dan sehat perlu waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Dari hasil pengamatan, waktu untuk beradaptasi selama 1 sampai 3 minggu. Keberhasilan beradaptasi ditandai dengan induk mau makan. Proses adaptasi ini dilakukan dalam bak pemeliharaan induk. Setelah beradaptasi, induk-induk terpilih dapat dipelihara di darat maupun laut. Pemeliharaan di darat dapat dilakukan dalam bak pemeliharaan (bak semen atau fiberglass) volume 100 m³. Sementara  pemeliharaan di laut dapat dilakukan dalam keramba jaring apung berukuran 8 x 8 m2 setiap unitnya dengan mata jaring 2 inchi (Akbar dan Sudaryanto, 2001). Kepadatan induk yang dipelihara dalam bak adalah 1-3 kg/m³ air media. Sementara kepadatan induk yang dipelihara dalam keramba jaring apung adalah 1-1,5 kg/m³ air media. Perbandingan antara jantan dan betina 1 : 1 (Akbar dan Sudaryanto,  2001).

1.      Pengelolaan pakan
Selama dalam pemeliharaan, induk memerlukan pakan. Kualitas pakan sangat berpengaruh pada tingkat kematangan gonad sehingga perlu diperhatikan. Sebaiknya kandungan protein pakan lebih dari 70%. Jenis pakan yang diberikan antara lain cumi-cumi, selar, lemuru, japuh, dan udang yang pemberiannya biasa divariasikan (Akbar dan Sudaryanto, 2001). Dosis pemberian pakan yang diberikan 3–5% dari total berat badan induk, dengan frekuensi pemberian pakan sekali sehari pada pagi atau sore hari (Ditjenkan, 1996).
            Selain pakan, induk perlu diberi multivitamin (A, B, C, dan E) setiap dua minggu sekali dengan dosis 10–15 mg/ekor/minggu. Multivitamin perlu diberikan agar kebutuhan vitamin biasa terpenuhi walaupun dalam pakan sudah terkandung vitamin (Akbar dan Sudaryanto, 2001).
2.   Pengelolaan air
Dalam pemeliharaan induk beberapa persyaratan kualitas air yang perlu diperhatikan antara lain kualitas fisik air dan kualitas kimia air. Parameter fisika dan kimia air biasanya menjadi pertimbangan utama di dalam pemilihan lokasi, karena berkaitan erat dengan organisme yang akan dipelihara (Sudjiharno dan Winanto, 1998).
2.2.3 Seleksi Induk
Kematangan kelamin induk jantan ikan kerapu diketahui dengan cara mengurut bagian perut ikan (stripping) ke arah lubang genital agar keluarnya  dengan sperma secara berlebihan dapat dihindari. Sperma yang keluar berlebihan dapat merusak organ dalam. Sperma yang baik dan siap dipijahkan berwarna putih susu dan kental. Sedangkan untuk mengetahui tingkat kematangan gonad induk betina dilakukan dengan metode kanulasi, yaitu dengan cara memasukkan selang kanula atau kateter berdiameter 1 mm ke lubang genital sedalam 5–10 cm, lalu telur dihisap. Setelah itu, selang kanula dicabut secara perlahan. Dari hasil pengamatan telur yang siap dipijahkan harus berdiameter minimal 450 µ (Akbar dan Sudaryanto,  2001).
2.2.4 Pematangan Gonad
Kualitas gonad yang dihasilkan induk dipengaruhi oleh input pakan yang diberikan karena pakan memegang kunci penting dalam pematangan gonad maka kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan pada saat pematangan gonad harus baik.
Mustamin (1998), selain pemberian pakan ikan segar, setiap minggu induk diberi multivitamin dan mineral dengan dosis 10 mg/kg induk. Pemberian vitamin dan mineral sangat penting untuk melengkapi kekurangan vitamin dan mineral yang tidak terdapat dalam pakan, untuk merangsang pembentukan dan pematangan gonad dan meningkatkan kualitas telur yang dihasilkan, ditambahkan lagi Vitamin E dapat memperlancar kerja fungsi-fungsi sel kelamin dengan memacu hormon gonadotropin serta menggiatkan jaringan indung telur.
2.2.5 Pemijahan
Pemijahan kerapu bisa dilakukan secara alami dan buatan. Pemijahan secara alami ada dua sistem yaitu pemijahan dengan sistem manipulasi lingkungan dan pemijahan dengan sistem rangsang hormonal. Sistem manipulasi lingkungan ini dilakukan dengan memberikan kejutan-kejutan perubahan temperatur yaitu dengan  menurunkan permukaan air sampai kedalaman 30 cm dari dasar bak. Biasanya induk akan memijah pada malam hari berkisar antara pukul 23.00–02.00. Suhu mempunyai pengaruh besar terhadap proses produksi. Suhu yang diterima kulit (cutaneous) oleh organ thermosensor dilanjutkan   ke otak yaitu kelenjar hypothalamus dan condospinalis yang menghasilkan hormon GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) dan LHRH (Luteinizing Hormone Releasing Hormone) yang merangsang kelamin untuk berproduksi. Perhitungan memijah berdasarkan siklus bulan, umumnya terjadi pada bulan gelap (sekitar tanggal  20 pada penanggalan Arab atau Jawa)  sampai bulan terang. Sekelompok induk dapat memijah secara terus-menerus selama 6-7 hari. Untuk sistem ini, perbandingan jantan dan betina adalah 1 : 1 (Akbar dan Sudaryanto, 2001).
Sedangkan untuk sistem rangsang hormonal, Akbar dan Sudaryanto (2001) menyatakan  masih merupakan pemijahan alami, tetapi induk perlu dirangsang dengan penyuntikan hormon. Hormon yang digunakan adalah hormon buatan seperti HCG dan Pb (puberogen). Dengan dosis HCG 1.000–2.000 IU/kg induk, sedangkan untuk Pb 150–225 RU/kg induk (Ditjenkan, 1996).

2.3 Penanganan Telur
2.3.1 Pemanenan Telur
Pemanenan telur dilakukan pada pagi hari atau jika telur telah mengalami perkembangan embrio fase gastrula, sehingga telur sudah cukup kuat untuk dipindahkan. Pemanenan telur dilakukan dengan cara resirkulasi air. Aliran air dari bak pemijahan ke kantong pengumpul telur diusahakan mengalir pelan, sehingga kemungkinan kerusakan telur akibat pemanenan dapat dikurangi (Hermawan, 2004). 
2.3.2 Seleksi Telur
Seleksi telur dilakukan dengan cara mematikan atau mengangkat aerasi dari wadah penampung telur. Telur yang baik akan mengapung atau melayang pada permukaan air, berwarna transparan, berbentuk bulat, kuning telur berada di tengah berdiameter 850-950 mikron. Telur yang tidak menetas akan mengendap di dasar wadah, berwarna putih susu. Telur yang tidak menetas dibuang dengan cara disiphon.

2.3.3 Perhitungan Telur
Menurut Hermawan, (2004), perhitungan telur dilakukan setelah telur diseleksi, kondisi induk turut menentukan frekuensi pemijahan, dimana induk yang dipijahkan harus dalam keadaan sehat dan tidak terserang penyakit, selain itu ditentukan juga oleh faktor lain seperti musim dan tingkat kematangan gonad, menjelaskan bahwa telur yang sudah ditampung di akuarium dihitung jumlah telurnya dengan metode volumetri, yaitu dengan menghitung jumlah telur pada volume tertentu dan kemudian dihitung jumlah total telur dengan rumus :
                                        Vol akuarium
Jumlah telur           =                                      x  Rata–rata jumlah telur    
                                      Volume sampel            
 



2.3.4 Penetasan Telur
Perkembangan telur sejak pembuahan sampai penetasan membutuhkan waktu selama 19 jam, dimana pembelahan sel pertama kali terjadi 40 menit setelah pembuahan. Pembelahan sel berikutnya berlangsung 15 sampai 30 menit sampai mencapai tahap multi sel selama dua jam 25 menit. Setelah tahap multi sel, tahapan berikutnya adalah blastula, grastula, neorula, dan embrio. Gerakan pertama pada embrio terjadi pada 16 jam setelah pembuahan, selanjutnya telur menetas menjadi larva pada jam ke-19 pada suhu 27-29 ºC. Berdasarkan pengamatan pada mikroskop dapat diketahui bahwa telur kerapu berbentuk bulat tanpa kerutan, cenderung menggerombol pada kondisi tanpa aerasi dan kuning tersebar merata. Telur transparan dengan diameter kurang lebih 850 mikron dan tidak memiliki ruang perivitelline. Perkembangan  embrio  dimulai  dari 1 sel, 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, 32 sel, 128 sel, atau banyak sel kemudian morula, blastula, gastrula, yang akhirnya menjadi embrio yang berkepala memiliki bola mata dan tunas ekor  Akbar dan Sudaryanto (2001).


2.4 Pertumbuhan dan Pemeliharaan Larva
2.4.1 Persiapan Bak Larva
Akbar dan Sudaryanto (2001) menyatakan bahwa, bak yang akan digunakan harus dibersihkan, dikeringkan, dan dibilas, lalu diisi air laut yang sudah disaring dengan salinitas 30–33 ppt dan suhu 27-29º C. Jumlah air laut yang digunakan sekitar setengah volume bak. Sebelum larva kerapu macan ditebar, air laut tersebut perlu direndam dengan kaporit dan diberi aerasi sekitar dua hari. Tujuannya adalah agar air terbebas dari bakteri dan hama yang dapat mengganggu pertumbuhan larva. Dosis kaporit sekitar 30–50 ppm. Sebelum digunakan, air media ini harus dibiarkan selama tiga hari agar kandungan klorinnya hilang sehingga aman untuk larva.
2.4.2 Pemberian Pakan
Menurut Akbar dan Sudaryanto (2001) menyatakan bahwa, larva yang baru berumur sehari, saluran pencernaannya sudah mulai tampak, mulut dan anus belum membuka, serta calon mata sudah terbentuk berwarna transparan. Larva ini masih mempunyai cadangan makanan berupa kuning telur. Namun, sebaiknya dalam bak sudah diberi fitoplankton berupa Chlorella sp., Tetraselmis sp., atau Dunalialla sp., dengan kepadatan 1–5 x 105 sel/ml air media. Tujuan pemberian fitoplankton tersebut untuk menjaga keseimbangan kualitas air dan pakan zooplankton dalam bak pemeliharaan.
Umur 3 hari (D3) kuning telur mulai terserap habis, perlu segera diberikan pakan dari luar berupa Rotifera Brachionus plicatilis kepadatan 1–3 ekor/ml. Pemberian pakan ritofera ini dilakukan sampai larva berumur 16 hari (D16) dengan penambahan secara bertahap hingga mencapai kepadatan 5–10 ekor/ml.
Pada hari kesembilan (D9) larva mulai diberi pakan nauplii artemia yang baru menetas dengan kepadatan 0,25–0,75 ekor/ml media. Pemberian pakan nauplii artemia ini dilakukan sampai berumur 25 hari (D25) dengan peningkatan kepadatan hingga mencapai 2–5 ekor/ml media. Disamping itu pada D17 larva mulai dicoba dengan pemberian pakan artemia yang telah berumur 1 hari kemudian secara bertahap pakan yang diberikan diubah dari artemia umur 1 hari ke artemia setengah dewasa dan akhirnya dewasa sampai larva berumur 50 hari.
2.4.3 Pertumbuhan Larva
Larva yang baru menetas terlihat transparan, melayang-layang (planktonis) dan gerakannya tidak aktif serta tampak kuning telur dan oil globulenya. Larva akan berubah bentuk menyerupai kerapu dewasa setelah berumur 31 hari.  Adapun perubahan bentuk larva kerapu macan dapat dilihat pada Gambar 2.

  
                 
Gambar 2. Perkembangan Larva Kerapu Macan
Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan (1996)

Masa krisis pertama larva kerapu dialami pada waktu berumur dua hari (D2) memasuki umur tiga hari (D3), dimana pada saat itu kandungan kuning telur telah mulai menipis dan terserap habis. Setelah cadangan pakan tersebut habis, maka pemenuhan pakan yang sesuai dengan ukuran mulut dan nilai gizi pakan mutlak diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup larva. Masa krisis ini akan berlangsung sampai dengan hari ke enam (D6), dikarenakan terjadi perubahan cara hidup dari larva yang semula gerakannya aktif. Larva harus aktif mencari makan dari luar karena kandungan kuning telur yang merupakan cadangan pakan telah habis. Pemberian pakan yang sesuai baik jenis, maupun kandungan gizinya mutlak diperlukan. Larva yang telah melewati umur enam hari (D6) mempunyai peluang untuk hidup lebih besar, karena hampir semua larva yang bertahan hidup telah mampu mencari pakan yang tersedia disekelilingnya. Masa krisis kedua dijumpai pada waktu larva berumur delapan hari (D8) memasuki umur sembilan hari (D9), dimana pada saat itu mulai terjadi perubahan bentuk tubuh sangat panjang dan spesifik, sampai pada hari ke-20 (D20) larva berkembang dengan baik dan belum menunjukkan adanya tanda-tanda kematian, akan tetapi memasuki hari ke-22 (D22), ke-23 (D23) sebagian dari larva baik yang masih kecil maupun yang sudah besar mulai nampak adanya kematian. Diawali dengan adanya gerakan memutar (whirling) yang tidak terkendali kemudian terbalik lalu mati.
2.4.4 Pengelolaan  Air
1. Pengelolaan Kuantitas Air
Bak penetasan telur yang sekaligus merupakan bak pemeliharaan larva perlu dijaga kualitas airnya dengan penambahan phytoplankton Chlorella, dengan kepadatan 5x103-104 sel/ml. Phytoplankton akan menggeliminir pembusukkan yang ditimbulkan oleh telur yang tidak menetas dan sisa cangkang telur yang ditinggalkan. Pembersihan dasar bak dengan cara penyiphonan dilakukan pada hari pertama dengan maksud untuk membuang sisa-sisa telur yang tidak menetas dan cangkang telur. Penggantian air dilaksanakan pertama kali pada saat larva berumur enam hari (D6) yaitu sebanyak 5-10%. Penggantian air dilakukan setiap hari dan dengan bertambahnya umur larva, maka volume air yang perlu diganti juga semakin banyak. Pada saat larva telah berumur 30 hari (D30) pengganti air dilakukan sebanyak 20% dan bila larva telah berumur 40 hari (D40) air yang diganti sebanyak 40%.
2. Pengelolaan Kualitas Air
a. Suhu
Perairan laut mempunyai kecendrungan bersuhu konstan, karena mengandung panas jenis yang tinggi. Selama ini pemeliharaan ikan kerapu macan yang dilakukan di keramba jaring apung menunjukkan prilaku makan dan pertumbuhan yang baik pada kisaran suhu antara 27-29º C. Perubahan suhu yang cukup ekstrim akan berpengaruh terhadap proses metabolisme atau nafsu makan. 
b.    pH
Tolak ukur yang digunakan untuk menentukan kondisi perairan asam atau basa biasa disebut pH., selebihnya dapat digunakan sebagai indeks kualitas lingkungan perairan. Kondisi perairan dengan pH netral atau sedikit basa sangat ideal untuk kehidupan ikan air laut. Perairan dengan pH rendah dapat mengakibatkan aktifitas tubuh menurun atau ikan menjadi lemah, lebih mudah terkena infeksi dan biasanya diikuti dengan tingkat mortalitas tinggi..
c.    DO
Konsentrasi dan ketersediaan oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi ikan yang dibudidayakan. Oksigen terlarut sangat dibutuhkan bagi kehidupan ikan da organisme air lainnya. Konsentrasi O2 dalam air dapat mempengaruhi pertumbuhan, konversi pakan, dan mengurangi daya dukung perairan. Kerapu macan dapat hidup layak dalam dengan konsentrasi oksigen terlarut lebih dari 5 ppm (Hermawan., 2004)
d.    Salinitas
Ikan kerapu hidup pada kisaran salinitas yang luas antara 15–45 ppt atau tahan di dalam air tawar lebih dari 15 menit. Namun untuk mengoptimalkan pertumbuhan ikan, maka salinitas air yang digunakan untuk kegiatan pembenihan sebaiknya berkisar antara 28–32 ppt.

2.5  Penyakit dan Penanggulangannya
2.5.1 Penyakit Akibat Parasit
Proses terjadinya serangan parasit diawali oleh menetasnya telur Nerocilla sp. yang kemudian berkembang di dalam kantung perut ikan bagian bawah. Selanjutnya, telur tersebut keluar, menetas, dan berenang kemudian masuk ke ikan lain. Parasit ini biasanya menempel pada bagian mulut ikan. Ciri-ciri ikan yang terserang parasit ini antara lain terjadinya kerusakan pada insang hingga berwarna cokelat, nafsu makan ikan turun drastis, dan ikan cenderung mendekati saluran air masuk (Subyakto dan Cahyaningsih, 2003).
            Upaya pengendalian parasit-parasit tersebut sebagai berikut.
  1. Menghilangkan parasit secara mekanis menggunakan pinset
  2. Merendam ikan  ke dalam  larutan formalin 20 ppm selama satu jam
  3. Merendam ikan ke dalam air tawar selama 5-15 menit.
2.5.2 Penyakit Akibat Jamur
            Ada dua macam penyakit kerapu yang disebabkan oleh jamur, yakni Saprolegniasis yang disebabkan oleh jamur Saprolegnia sp. dan Ichthyosporidosis yang disebabkan oleh jamur Ichtyosporidium sp. Serangan  Saprolegniasis ditandai oleh perubahan warna kulit menjadi putih keabu-abuan dan tanda serangan Ichtyosporidosis berupa luka berlubang di bagian kepala. Upaya pengendalian yang dapat dilakukan adalah merendam ikan ke dalam larutan Methylene Blue 0,1 ppm selama 15–45 menit dan diulangi selama tiga hari berturut-turut (Subyakto dan Cahyaningsih, 2003).
2.5.3 Penyakit Akibat Virus
            Penyakit virus yang menyerang kerapu adalah Viral Necrotic Nerveus (VNN) yang disebabkan oleh virus nodavirus. Serangan virus ini mulai meluas sejak tahun 1998. Biasanya virus ini menyebabkan kematian masal pada stadia juvenil atau larva. Larva yang terserang mula-mula tenggelam di dasar bak kemudian akan mengapung di permukaan air dengan kondisi perut mengembung. Sejauh ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh virus. Satu-satunya jalan untuk membasminya adalah memusnahkan ikan yang telah terinfeksi virus tersebut. Langkah pencegahan yang dapat dilakukan adalah memberikan pakan yang nilai gizinya seimbang, menjaga sanitasi lingkungan, manajemen kualitas air yang baik, dan menggunakan induk yang bebas virus (Subyakto dan Cahyaningsih, 2003).

2.6 Grading dan Pemanenan Benih
            Grading dimaksudkan untuk menyeragamkan ikan peliharaan yang ditempatkan dalam satu wadah yang telah ditentukan dan bukan merupakan jalan pemecahan untuk mangatasi sifat kanibal, melainkan mengurangi sifat tersebut. Ikan kerapu macan sudah mulai digrading pada umur D35, dimana larva sudah menjadi benih.
Menurut Subyakto dan Cahyaningsih (2003) menjelaskan bahwa, pemanenan dilakukan secara berhati-hati agar ikan tidak stress. Sehari sebelum pemanenan, ikan dipuasakan terlebih dahulu untuk mengurangi kotoran dan mencegah muntah dalam kantung plastik pada saat transportasi.

2.7 Pemasaran
            Sebelum menggarap bisnis, hendaknya analisis terhadap pasar potensial yang akan dimasuki oleh produk yang akan dihasilkan oleh perusahaan dilakukan terlebih dahulu. Dengan demikian akan diketahui keberadaan pasar potensial yang dimaksud. Atau, bisnis akan mencoba menciptakan pasar potensialnya sendiri sehingga produk dapat menjadi leader (Umar, 2005).
            Analisis suplai dan permintaan yang dapat menunjukkan bahwa masih ada peluang atau tidak. Setelah itu, penilaian tentang kelayakan dari suatu ide/gagasan dari sisi pasar sudah dapat dilakukan barulah langkah berikutnya menganalisis pemasaran secara lebih jelas dimulai dari memahami dan mengerti betul prospek pemasaran, kondisi industri dari produk yang akan dipasarkan nantinya, menganalisis pesaing dan mengkategorikannya dalam urutan tingkat penguasaan pasar yang telah mereka lakukan saat ini, mengidenfikasi dan merinci secara jelas pelanggan prospektif yang akan dijadikan sasaran pemasaran nantinya, menyatukan profil pelanggan, dan akhirnya menyusun strategi, rencana dan anggaran penjualan serta anggran biaya penjualan yang diperlukan untuk merealisasikan tujuan dari pendirian ataupun pengembangan usaha yang telah ditentukan sebelumnya.




III. METODOLOGI

3.1. Tempat dan Waktu PKL
                  Praktek Kerja Lapang IV (PKL IV) ini dilaksanakan di CV.   Dwi   Jaya
Desa Sanggalangit Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Provinsi Bali dari
tanggal 8 Oktober - 21 Oktober 2012.

3.2.  Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada Praktek Kerja Lapang IV (PKL IV) adalah metode survey dengan sistem magang. Menurut Nasir (1988), yang dimaksud dengan metode survey  adalah penyelidikan yang dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dan mencari fakta secara faktual. Dalam PKL IV ini fakta atau data yang dicari yaitu tentang bagaimana proses pelaksanaan teknik pembenihan  ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Sedangkan untuk memperoleh keterampilan digunakan sistem magang. Magang merupakan kegiatan untuk berlatih bekerja bagi mahasiswa disuatu instansi atau perusahaan, sistem magang adalah suatu belajar mengajar dalam bentuk praktek secara langsung ditempat yang digunakan untuk magang yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan kecakapan dalam membuat kreativitas, sikap kritis, rasa percaya diri dan jiwa kewiraswastaan.

3.3.  Sumber Data
Data yang dikumpulkan pada Praktek Kerja Lapang IV (PKL IV) ini adalah data primer dan data sekunder. Menurut Narbuko dan Achmadi (2001), pengertian data primer dan data sekunder adalah :
a.      Data primer  adalah data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat atau langsung dari sumber ditempat PKL. Dalam PKL ini, data primer yang akan diperoleh berupa data mengenai teknik pembenihan ikan kerapu macan, persiapan air dan perlakuannya dilihat dari segi kimia, fisika, dan biologi monitoring parameter kualitas air dan pemasaran hasil.
b.      Data sekunder  adalah data atau informasi yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya, bias dari  literatur di perpustakaan. Data sekunder yang akan diambil adalah keadaan umum lokasi, data tentang jumlah petakan kolam dan fasilitas, data tentang struktur organisasi,  denah lokasi, peta lokasi. 

3.4.  Metode Pengumpulan Data
Menurut Narbuko dan Achmadi (2001), metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi dan wawancara. Pengertian observasi  dan wawancara  adalah :
a.      Observasi adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematis gejala-gejala yang diamati. Jenis  observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi dimana penulis yang melakukan observasi turut ambil bagian atau berada dalam obyek yang diobservasi.
b.      Wawancara  adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan, dilakukan oleh dua orang atau lebih, bertatap muka, mendengarkan secara langsung informasi dan keterangan. Dalam pelaksanaan wawancara, jenis data yang ditanyakan berupa :
v  Persiapan media
v  Proses Pemijahan
v  Keadaan umum lokasi
v  Aspek sosial ekonomi
Untuk lebih jelasnya daftar pertanyaan dapat di lihat pada Lampiran 1.
3.5.  Metode Pengolahan dan Analisa Data
3.5.1.   Pengolahan Data
Menurut Narbuko dan Achmadi (2001), data primer dan data sekunder yang dikumpulkan akan dilakukan  pengolahan data melalui tahapan:
1.      Editing  adalah pemeriksaan kembali data yang telah terkumpul untuk mengetahui apakah semua data sudah sesuai dengan yang diharapkan.
2.      Tabulating adalah penyusunan data yang berbentuk tabel untuk keperluan mempermudah analisis data.
3.5.2.   Analisa Data
            Analisis deskripti fmerupakan analisis yang paling mendasar untuk menggambarkan keadaan data secara umum. Menjelaskan hal-hal yang diamati secara sistematis dan membandingkan dengan literatur dan pengamatan lainnya yang berhubungan dengan materi.
            Analisis kuantitatIf  merupakan pengolahan data dengan kaidah-kaidah matematik terhadap data angka atau numeric. Yaitu analisa data yang diperoleh dengan menggunakan perhitungan-perhitungan, data yang akan dihitung menggunakan rumus meliputi :
a)     Derajat penetasan telur menurut Mustamin dkk. (1998) menggunakan rumus:
HR = Jumlah larva yang dihasilkan    x 100%
            Jumlah telur yang ditebar
b)     Tingkat kelangsungan hidup menurut Mustamin dkk., (1998)  dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
SR = Jumlah larva pada akhir pemeliharaan     x 100%
         Jumlah larva pada awal pemeliharaan
c)     Fertilization Rate menurut Mustamin dkk., (1998) dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
                                      Jumlah telur terbuahi    x 100%
Fertilization Rate  =            Total telur



V. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1 Pengelolaan Induk
            Pengelolaan induk di CV. Dwi Jaya, induk di peliharan di dalam keramba agar membuat induk kerapu seperti berada di habitat aslinya dan induk yang ingin di pijahkan akan di bawah kedalam bak. Hal ini agar mudah dalam pengambilan telur kerapu macan.
5.1.1 Pengadaan Induk
Induk kerapu macan yang berada di CV. Dwi jaya berasal dari penangkapan di alam di daerah Indonesia bagian timur. Jumlah induk kerapu macan di CV. Dwi Jaya berjumlah 46 ekor. Induk jantan berjumlah 23 ekor denngan berat rata-rata 8 kg/ekor dan betina berjumlah 23 ekor dengan berat 4-5 kg/ekor, dengan perbandingan 1:1.
            Induk kerapu yang berasal dari alam diperoleh dari tangkapan  nelayan yang dilakukan di daerah Indonesia bagian timur. Penangkapan induk dari alam dilakukan dengan menggunakan pancing, jaring dan bubu. Pengangkutan induk dilakukan dengan sistem terbuka dan dilakukan dengan sistem resirkulasi dalam kapal. Induk yang berasal dari alam dikarantina terlebih dahulu selama satu bulan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
5.1.2 Pemeliharaan Induk dan Pematangan Gonat
            Pemeliharaan induk di CV. Dwi Jaya dilakukan pada bak beton dengan sistem sirkulasi. Induk dipelihara pada bak beton dengan kapasitas 200 ton dengan bagian atapnya diberi tutup berupa jaring untuk menghindari induk meloncat keluar pada saat diberi pakan. Induk yang dipelihara diberi pakan berupa ikan rucah dan cumi. Selain itu induk juga diberi vitamin C untuk menambah daya tahan tubuh dan vitamin E untuk merangsang kematangan gonad dengan dosis 2 gram/hari/kolam dengan cara memasukkan vitamin kedalam daging ikan rucah dan cumi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hermawan dkk., (2004) bahwa dasar bak berbentuk kerucut dengan kemiringan 5° dengan tujuan untuk memudahkan dalam pengelolaan kebersihan bak terutama untuk lebih mudah membuang kotoran. Bak induk dilengkapi dengan empat  titik aerasi pada bagian  tepi bak untuk menambah kandungan oksigen dan dilengkapi juga dengan pipa pemasukan air, pipa pengeluaran air serta bak pemanenan telangur. Hal ini sependapat dengan Mustami (1998) yang mengatakan pemberian vitamin dan mineral sangat penting untuk melengkapi kekurangan vitamin dan mineral yang tidak terdapat dalam pakan, untuk merangsang pembentukan dan pematangan gonad dan meningkatkan kualitas telur yang dihasilkan, ditambahkan lagi Vitamin E dapat memperlancar kerja fungsi-fungsi sel kelamin. Bak pemeliharaan dan pemijahan induk dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Bak Pemeliharaan dan Pemijahan Induk
(Data Primer, 2012)


Perawatan bak induk dilakukan dalm 2 minggu sekali dan induk di rendam air tawar dalam 1 bulan sekali selama 5 menit untuk menghilangkan kutu yang ada pada tubuh ikan kerapu.
Kesehatan induk dijaga dengan melakukan pembersihan dan pencucian bak yang dilakukan sebayak dua kali dalam sebulan yaitu seminggu sebelum pemijahan atau sebelum bulan gelap, serta sesudah pemijahan. Hal ini dapat dilakukan apabila induk sudah tidak lagi mengeluarkan telur.
5.2.  Pemijahan 
Pengadaan telur pada CV. Dwi Jaya ini berasal dari hasil pemijahan induk  sendiri. Pemijahan dilakukan pada bak pemeliharaan induk dengan perbandingan induk jantan dan betina yaitu 1 : 1 ekor. Induk kerapu memijah secara alami dan akan memijah pada malam hari pada bulan purnama yang kemudian telur dapat dipanen pagi harinya. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Akbar dan Sudaryanto (2001) yang mengatakan bahwa induk akan memijah pada malam hari berkisar antara pukul 23.00–02.00. Suhu mempunyai pengaruh besar terhadap proses produksi. Telur kerapu macan dapat mencapai 1.500.000 butir untuk berat induk 8 kg.

5.3 Penanganan Telur
            Penanganan telur merupakan proses yang dilakukan agar telur tetep dalam kondisi maksimal dan mampu menetas dengan seluruhnya.
5.3.1 Pemanenan Telur
Pemanenan telur dilakukan pada pagi hari yaitu pada pukul 06.00 WIB. Pemanenan dilakukan pada pagi hari karena telur telah mengalami perkembangan embrio fase gastrula, sehingga telur sudah cukup kuat untuk dipindahkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mustamin dkk., (1998) bahwa pemanenan telur dilakukan pada pagi hari atau jika telur telah mengalami perkembangan embrio fase gastrula, sehingga telur sudah cukup kuat untuk dipindahkan.  Pemanenen telur dilakukan melalui sistem sirkulasi air dimana telur akan terbawa aliran air keluar yang menuju bak pemanenan  telur melalui saluran yang ada pada dinding bak. Aliran air pada bak penampungan telur diusahakan aliranya pelan dengan tujuan menghindari kerusakan pada telur. Sistem sirkulasi ini digunakan dalam pemanenan telur, untuk memudahkan dalam pemanenan telur. 
Telur yang terbawa air akan tertampung  pada kantong pengumpul telur yang berada dalam bak penampungan telur. Kantong pengumpul telur terbuat dari screennet dengan  mess size 150-200 µm. Telur yang telah tertampung pada kantong pengumpul telur dipanen dengan menggunakan plankton net dan ditampung dalam ember  kemudian dipindahkan ke dalam akuarium  dan diberi aerasi.
5.2.2 Seleksi Telur
Setelah pemanenan, dilakukan seleksi telur dengan tujuan untuk mendapatkan telur yang berkualitas baik sehingga mendapat tingkat penetasan telur yang tinggi dan menghasilkan larva yang berkualitas.  Telur yang sudah dipanen ditampung ke dalam aquarium dengan volume 100 liter diberi aerasi kemudian aerasinya dimatikan dan tunggu beberapa menit.  Telur yang jelek dan tidak terbuahi akan mengendap di dasar aquarium dengan ciri - ciri berwarna putih susu, sedangkan telur yang terbuahi dengan baik akan melayang – laying di badan dan permukaan air dengan ciri-ciri transparan, berbentuk bulat, dan kuning telur berada di tengah.  Telur yang  tidak terbuahi dibuang dengan cara disiphon.  Hal ini sesuai dengan pendapat Mustamin dkk., (1998) bahwa telur yang baik akan terapung di bagian permukaan dengan warna transparan berbentuk bulat, kuning telur berada di tengah, sebaliknya telur yang jelek berada di dasar, berwarna putih susu. Telur yang akan di tebar kedalm bak pemel

5.4.  Pemeliharaan Larva
            Telur yang telah ditebar akan menetas setelah 18 jam. Telur di tebar sebanyak 100.000 butir telur. Pada saat ukuran benih 3 cm  benih yang d tebar dalam 1 bak sekitar 800-1000 ekor. Pada saat setelah penetasan larva mulai dikatakan dengan umur D1, larva berumur D1 masih ikut arus dan belum bisa membuka mata setelah D2 larva sudah mulai membuka mata dan pada umur D3 larva mulai bisa bergerak dan makan. Sehingga pada saat D3 larva diberi pakan berupa chlorella  dan rotifer. Dalam pemeliharaan larva juga dilakukan penyiponan, penyiponan dilakukan 2 kali yait pada saat berumur D15 dan pada saat panen, penyiponan ini dilakukan untuk menghilangkan lumut pada bak yang dapat menggangu pada saat panen karena apabila terdapat lumut akan banyak nener yang tersangkut pada lumut saat pemanenan. Selain penyiponan sirkulasi air juga dilakukan pada saat larva berumur D10 hingga. Sirkulasi air dilakukan dengan cara pada saat pagi hari air diturunkan dan pada saat siang atau sore dilakukan penambahan air, tetapi sebelum berumur D10 yaitu antara umur D5 atau D7 juga sudah dilakukan pengurangan air karena air pada bak terus bertambah karena pemberian pakan berupa chlorella dan rotifera tetapi belum bisa ditambah air karena larva yang belum kuat. Hal ini berbeda dengan pendapat Murtidjo (2002), yang menjelaskan bahwa pada saat larva berumur 9 hari mulai dilakukan penggantian air pada bak sekitar 10% per hari sampai larva berumur 20 hari. Setelah larva berumur 21 hari dilakukan penggantian air sebanyak 100% per hari dan secara bertahap salinitas air diturunkan hingga 20 ppt. Bentuk bak benih larava di CV. Dwi Jaya seperti pada gambar 4.
Gambar 4. Bak larva (Data Primer, 2012)
5.5       Pengelolaan Pakan
Pada proses pengelolaan pakan pada larva ikan diberikan pakan berupa pakan alami dan pakan buatan.  Pakan alami yang diberikan berupa clorela, rotifera Artemia dan udang rebon. Sedangkan pakan buatan diberikan berupa pellet. Pakan tersebut diberikan kepada ikan berdasarkan ukuran bukaan mulut larva, sehingga larva mampu mencerna pakan tersebut dengan baik serta berdasarkan kandungan nutrisi, protein, dan vitamin yang cukup bagi ikan. Jadwal pemberian pakan dapat dilihat pada Tabel 1.


Tabel 1. Jadwal Pemberian Pakan Larva Kerapu Macan
Umur
Jenis Pakan
Jumlah
Waktu Pemberian/hari
D.3-D.22
Clorela
15000 sel/ekor
2 kali
D.4-D.22
Rotifer
15 sel/ml
2 kali
D.14
Artemia
3 ind /ml
1 kali
D.27
Udang rebon
-
1 kali




Sumber: Data Primer, (2012)
5.5.1. Pakan Alami
a.  Chlorella sp
            Chlorella sp diberikan pada saat larva berumur D.3 sampai larva berumur D.22 sebanyak 15.000 sel/ml. Pemanenan clorella dilakukan setelah berumur 4 hari. Cara pemberiannya dengan menyedot clorella dari permukaan dengan menggunakan spiral 2 dam dan ujung outputnya diberi saringan berupa planktonet ukuran 2,75 mikro penggurangana air berkisar 30%. Pemberian clorela pada saat larva berumur D.3  hanya diberikan satu kali sehari yaitu pada sore hari. Hal ini dilakukan untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke dalam media pemeliharaan. Hal ini sesuai dengan Subyakto dan Cahyaningsih (2003) bahwa pemberian clorela bertujuan menjaga air dan mengatur intensitas cahaya yang masuk ke dalam bak pemeliharaan. Selanjutnya fitoplankton diberikan dua kali sehari yang diberikan pada pagi dan sore hari sampai larva berumur D.18. Penambahan frekuensi pemberian clorela  bertujuan menjaga kualitas air, mengatur intensitas cahaya yang masuk ke dalam bak serta sebagai pakan rotifera. Hal ini sesuai dengan pendapat Mustamin dkk., (1998) bahwa pemberian fitoplankton (Nannochloropsis oculata) pada bak larva dimaksudkan sebagai penyeimbang kualitas air dan pakan rotifera yang ada dalam bak pemeliharaan larva.
Pemberian clorella ini dilakukan dengan cara mengalirkan dari drum plastik volume 200 liter. Fitoplankton tersebut dialirkan secara gravitasi melalui selang aerasi sebanyak lima buah dengan panjang tertentu supaya penyalurannya merata. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi goncangan pada saat pemberian fitoplankton yang dapat menyebabkan larva stres dan mempermudah pengontrolan fitoplankton yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Subyakto dan Cahyaningsih (2003) bahwa teknik pemberian clorella ke dalam bak pemeliharaan dilakukan dengan cara pelan agar penyebarannya merata dan tidak menggangu larva.
b.  Rotifera
Pemberian rotifera diberikan mulai larva berumur D.4 sampai larva berumur D.22. Rotifera diberikan pada saat larva berumur D.4 karena pada saat itu cadangan makanan berupa kuning telur pada larva sudah mulai habis. Larva berumur D.5 sampai D.22 pemberian rotifera sebanyak 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari dengan dosis 15 ekor/ml. Cara pemberiannya dengan menyedot rotifer dari permukaan dengan menggunakan spiral 2 dam dan ujung outputnya diberi saringan berupa planktonet ukuran 2,75 mikron. Hal ini disebabkan karena larva D.4 mulut dan sistem pencernaan mulai berfungsi sehingga kebutuhan pakan dari luar tubuhnya harus terpenuhi, disamping cadangan makanan sudah terserap habis. Hal ini sesuai berbeda dengan pendapat Mustamin dkk., (1998) bahwa pada saat larva berumur D.3 cadangan makanan sudah terserap habis, mulut dan sistem pencernaan sudah mulai berfungsi sehingga larva membutuhkan pakan dari luar tubuhnya. 
Pemberian rotifera menggunakan gayung pakan kemudian dituangkan pada titik-titik aerasi dengan tujuan rotifera tersebar merata dalam bak pemeliharaan larva. Pemberian dilakukan secara hati-hati untuk menghindari goncangan yang dapat menyebabkan larva menjadi stress.
Pengontrolan pemberian roifera dilakukan satu jam setelah pemberiannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan menghindari pemberian yang berlebihan dan untuk menentukan dosis pemberian selanjutnya serta menghindari terjadinya persaingan oksigen pada malam hari dengan larva. Hal ini sesuai dengan pendapat Mustamin dkk., (1998).
c.  Artemia
Naupli Artemia mulai diberikan pada saat larva berumur D.14 dengan frekuensi pemberian satu kali dengan dosis sebanyak  3 ind/ml dan apabila habis dalam waktu 2 jam maka dosis harus di naikan cara pemberiannya dengan cara pengurangan air didalam sekitar 30% dengan menggunakan spiral 2 dam dan ujungnya di beri penyaring. Pemberian Artemia sama seperti pemberian rotifera yaitu dengan menggunakan gayung pakan yang dituangkan pada titik-titik aerasi supaya Artemia tersebar merata pada bak pemeliharaan. Pengontrolan pemberian Artemia sama seperti pada rotifera dilakukan satu jam setelah pemberiannya. Hal ini juga dimaksudkan menghindari pemberian pakan yang berlebihan dan dapat menentukan dosis pakan selanjutnya.
d.  Udang rebon
Pada pemeliharaan larva kerapu macan di CV.Dwi jaya, pemberian udang rebon berdasarkan pada perkembangan pertumbuhan larva, udang rebon diberikan pada saat larva telah berumur D.27. Larva berumur D.28, udang rebon diberikan 1 kali dalam sehari yaitu pada pukul 08.00 WITA dengan dosis 10 gr/hari. Pemberian udang rebon sendiri melihat ketersediaan udang rebon di lapangan, jika persedian cukup pemberian dilakukan berdasarkan jadwal, kalau tidak udang rebon dalam pemberiannya digantikan menggunakan pakan buatan.
5.5.2. Pakan Buatan
Pakan buatan juga diberikan pada larva selain pakan alami untuk mencukupi kebutuhan nutrisinya.  Pakan buatan yang diberikan adalah pellet.   Dosis, jenis dan frekuensi pakan buatan diberikan berdasarkan umur, ukuran, dan bukaan mulut larva. Pemberian pakan diberikan samapi ikan kenyang . Hal ini sesuai dengan pendapat Subyakto dan Cahyaningsih (2003) selama masa pertumbuhan larva, pakan buatan diberikan berdasarkan ukuran partikelnya. Larva berumur D.7 sudah mulai diberikan pakan buatan dengan kandungan protein 50-70%.
5.6.  Pengendalian Hama Dan Penyakit
            Hama yang mengganggu pemeliharaan larva kerapu adalah jentik nyamuk. Jentik nyamuk ini berasal dari bak plankton yang masuk kedalam bak larva pada saat pengisian air setelah dilakukan sirkulasi media pemeliharaan. Jentik nyamuk bisa memakan rotifera yang diberikan untuk larva sehingga bisa menjadi kompetitor yang dapat mengganggu pertumbuhan larva. Jentik nyamuk hidup dipermukaan air dalam bak larva sehingga untuk menguranginya hanya perlu dengan cara diseser pada permukaan air.
            Selama PKL berlangsung tidak ditemukan penyakit yang menyerang larva kerapu. Namun, penyakit yang biasanya menyerang larva kerapu  adalah penyakit yang dikenal dengan anten dan jamur.
5.6.1.   Anten
            Penyakit ini biasanya menyerang larva ikan kerapu. Penyakit ini disebabkan karena kekurangan pakan alami atau lingkungan air yang tidak baik, keadaan air banyak mengandung lumpur.
5.6.2.   Cacat
            Biasanya benih kerapu banyak yang mengalami cacat tubuh. Seperti cacat insang, mulut dan bentuk tubuh bengkok benih yang sudah cacat tidak bisadi pergunakan lagi dan harus di buang. Cacat insang ini disebabkan karena kurang derasnya air yang mengalir. Cacat mulut biasanya terjadi karena kesalahan dalm pemberian pakan dan bentuk bbaddan bengkok biasanya terjadi karena air yang kurang baik dan sudah tercemar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5 berikut.
Gambar 5. Cacat insang (Data primer, 2012)

5.7.  Grading
Proses grading dan pemanenan pada dasarnya adalah sama, yang membedakan adalah larva yang dipanen langsung dikemas untuk dijual, sedangkan larva yang digrading dimasukkan kembali ke dalam bak pemeliharaan. Grading dan pemanenan dilakukan dengan cara menurunkan air hingga 80%, sebelumnya dilakukan penyiphonan, hal ini memiliki tujuan supaya kotoran-kotoran di dasar bak tidak teraduk pada saat grading. Kemudian larva ditangkap menggunakan tudung saji yang berukuran kecil dan berbentuk oval secara perlahan-lahan. Untuk lebih jelasnya kegiatan grading dapat dilihat pada Gambar 6.
           
 Gambar 6.  Grading (Data primer, 2012)
5.8.      Panen
            Pemanenan dilakukan setelah larva mencapai ukuran lebih dari 2,5 cm dimana larva sudah menjadi benih yang siap dijual. Jumlah ikan kerapu yang di panen sebanyak 135.000 ekor. Dari proses kegiatan pameliharaan larva kerapu macan di CV.Dwi Jaya didapat SR 10 %. Benih kerapu macan dijual dengan harga 800/ cm.
 Proses pemanenan dilakukan secara hati-hati agar ikan tidak stress. Setelah ditangkap menggunakan tudung saji ikan dimasukkan ke dalam baskom plastik yang diberi aliran air, selanjutnya dapat dilakukan pemilahan ukuran atau grading. Ikan dipuasakan terlebih dahulu atau dilakukan pemberokan sebelum dilakukan pemanenan dan grading. Hal ini dilakukan untuk mengosongkan isi lambung agar ikan tidak muntah atau stress pada saat proses panen maupun pengangkutannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Subyakto dan Cahyaningsih (2003) bahwa sehari sebelum pemanenan, ikan dipuasakan terlebih dahulu untuk mengurangi kotoran dan mencegah muntah dalam kantong plastik pada saat transportasi.
Pemanenan dilakukan pada pagi hari karena suhu relatif rendah. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi ikan stres selama pemanenan. Hal  ini sesuai dengan pendapat Hermawan dkk., (2004) berpendapat untuk menjaga agar ikan tetap sehat dan segar, pemanenannya sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari karena suhu relatif rendah. Setelah dilakukan pengangkatan larva dari bak pemeliharaan ke area grading, dilakukan  pemisahan larva yang tidak sehat.  Larva yang tidak sehat memiliki bercak hitam di tubuhnya, bengkok, insang tipis, kurus, dan ciri-ciri tidak normal lainnya yang membuat larva tersebut tidak laku terjual sehingga akhirnya dibuang.

5.9.  Pemasaran                                                
            Hasil produksi benih ikan kerapu CV. Dwi Jaya dipasarkan Ke beberapa daerah di pulau Bali dan luar pulau Bali. CV. Dwi Jaya juga mengekspor hasil produksi benihnya ke beberapa negara. Daerah pemasaran  CV. Dwi Jaya meliputi Pulau Bali sendiri, dan daerah luar pulau meliputi Jakarta, Manado, Ujung Pandang, Balik Papan, Gresik, Sidoarjo, Lamongan dan Situbondo. Sedangkan untuk ekspornya meliputi  negara Thailand, Singapura, Filipina dan Jepang. Untuk pengangkutan jarak jauh pengangkutan menggunakan jasa pesawat, untuk pengangkutan menggunakan pesawat benih yang telah dipacking dalam kantong kemudian dikemas di dalam sterofoam dan diberi es yang telah dibalut dengan koran untuk  menjaga suhu pada saat pengangkutan. Sedangkan pengangkutan jarak dekat menggunakan mobil pickup milik perusahaan, dalam pengangkutan ini benih yang telah dipacking dimasukkan ke dalam kardus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Pengangkutan benih        
(Data Primer, 2012)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.  Kesimpulan
Dari hasil Praktek Kerja Lapang IV yang telah dilaksanakan di CV. Dwi Jaya Desa Sanggalangit Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Provinsi Bali dapat disimpulkan:
1.      Lokasi pembenihan kerapu macan pada CV. Dwi Jaya telah memenuhi syarat karena lokasi pembenihan dekat dengan pantai dan jauh dari lokasi industri (pabrik) sehingga mudah mendapatkan air  laut yang bersih, tersedianya sumber air tawar yang bersih dalam jumlah yang cukup, tersedianya sumber tenga listrik, dan lokasi pembenihan tidak jauh dari kota sehingga transportasi lancar.
2.      Kegiatan pembenihan kerapu macan pada CV. Dwi Jaya meliputi persiapan pembenihan yang terdiri dari persiapan bak, pengisian air, pengadaan induk, pemeliharaan induk, pemijahan, penanganan telur, penebaran telur, dan. pemeliharaan larva  yang terdiri dari kegiatan manajemen pakan,  pengendalian hama dan penyakit, serta panen dan pemasaran.
3.      Jumlah produksi clorela 15.000 sel/ml untuk bak berukuran 3 x 3m berisi air sebanyak 9 ton, rotifer 15 ekor/ml dan artemia 3 ind/ml dan udang rebon 10 gr/hari.
4.      Pada CV. Dwi Jaya menggunakan dua jenis pakan yaitu pakan alami dan pakan buatan, pakan alami yang diberikan berupa rotifera dan chllorela sedangkan pakan buatan yang pelet.
5.      Daerah pemasaran CV. DWI Jaya meliputi pulau Bali sendiri, dan daerah luar pulau meliputi Jakarta, Manado, Ujung Pandang, Balik Papan, Gresik, Sidoarjo, Lamongan dan Situbondo. CV. Dwi Jaya juga melakukan ekspor ke luar negeri meliputi Thailand, Singapura, Filipina, dan Jepang.
6.2. Saran
      Dari hasil kegiatan  PKL di CV. Dwi Jaya maka dapat diberikan saran yaitu sebaiknya perlu adanya peralatan laboratorium untuk identifikasi dan penanganan hama penyakit.