TEKNIK PEMBENIHAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)
DI
CV. DWI JAYA DESA SANGGALANGIT KECAMATAN GEROKGAK KABUPATEN BULELENG
PROVINSI
BALI
LAPORAN
PRAKTEK KERJA LAPANG IV
JURUSAN TEKNOLOGI
BUDIDAYA PERIKANAN
Oleh:
Putra Gunawan Manalu
NIT. 10.3.02.124
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN
AKADEMI PERIKANAN SIDOARJO
2012
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Diantara
jenis ikan laut budidaya, ikan kerapu macan yang mempunyai nilai ekonomis
penting dengan nilai ekspor cukup tinggi, bahkan pernah mencapai angka peningkatan
ekspor sebesar 350 % yaitu 19 ton pada tahun 1987 dan 75 ton pada tahun 1988
(Deptan, 1990). Dengan semakin banyaknya permintaan ikan kerapu untuk pasaran
domestic dan internasional, maka benih yang selama ini berasal dari alam akan
sulit dipenuhi sehingga perlu dialihkan ke usaha pembenihan.
Budidaya ikan kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus) merupakan
usaha budidaya yang sangat potensial dalam setiap usaha budidaya ikan. Benih ikan merupakan salah satu sarana pokok
yang harus tersedia dalam setiap usaha budidaya ikan serta harus mendapat
perhatian dan penanganan yang khusus. Penyediaan benih ikan yang cukup
merupakan salah satu faktor untuk menentukan keberhasilan bidang budidaya.
Untuk meningkatkan kadar
benih ikan budidaya sebaiknya tidak mengandalkan dari usaha penangkapan ikan di
alam. Akibat adanya penangkapan benih dari alam kemungkinan terjadi eksploitasi
penangkapan ikan dialam secara berlebihan. Hal ini tentu saja akan merusak
keseimbangan ekosistem dimasa mendatang, maka sudah sewajarnya kita kembangkan
usaha budidaya agar tidak terjadi
kepunahan spesies tersebut. Dengan budidaya kita sudah menunjukkan perwujudan
yang paling sederhana dan usaha peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat.
Akhir-akhir ini tangkapan benih dari
alam yang berkualitas baik dalam hal ukuran, mutu dan jumlah sangat menurun,
sehingga benih merupakan kendala utama dalam pengembangannya. Sehubungan dengan
kondisi tersebut maka sangat diharapkan ketersediaan benih-benih dari hatchery.
Agar pembenihan yang dilakukan dapat berkualitas baik dan mencapai pasar luar
negeri. Hal tersebut akan dapat memajukan bidang perikanan dalam negeri. Mutu
benih yang baik merupakan faktor utama yang paling penting dalam hal budidaya
ikan. Dengan demikian pemerintah membuat standar benih yang baik untuk di
hatchery-hatchery agas ikan hasil budidaya berkualitas tinggi.
1.2 Tujuan
Tujuan
dari Praktek Kerja Lapang IV(PKL IV) ini adalah:
1. Untuk
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan
tentang teknik
pembenihan ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang
dilaksanakan di CV. Dwi Jaya Desa
Sanggalangit Kecamatan Gerokgak
Kabupaten Buleleng Provinsi Bali
2. Dapat menganalisa usaha
pembenihan kerapu macan di CV. Dwi Jaya Desa Gerokgak Kabupaten Buleleng
Provinsi Bali.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi
Kerapu Macan
2.1.1
Taksonomi
Menurut Randall
(1987), klasifikasi ikan kerapu macan adalah sebagi berikut :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Osteichthyes
Sub class : Actinopterigi
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Percoidea
Family : Serranidae
Genus : Epinephelus
Spesies : fuscoguttatus.
2.1.2
Morfologi
Evalawaty (2001), mendiskripsikan morfologi ikan
kerapu macan memiliki bentuk badan memanjang gepeng atau agak membulat, luasan
antara pusat (kepala) datar cenderung
cekung. Kepala bagian depan untuk ikan dewasa terdapat lekukkan mata
yang cekung sampai dengan sirip punggung. Preoperkulum membundar dengan
pinggiran bergerigi dengan tepi bagian atas cekung menurun secara vertikal ke
hampir ujung operkulum. Bagian tengah rahang bawah terdiri dari tiga atau empat
baris gigi dengan barisan bagian dalam dua kali lebih panjang dari pada bagian
luar. Tapis insang terdiri
dari 10-12 tungkai atas dan 17-21 tungkai bawah dengan bagian dasar tidak terhitung. Sirip punggung terdiri
dari 14-15 tulang rawan dan 11 tulang keras dengan barisan ketiga atau keempat
lebih panjang sedangkan pada sirip anus terdapat tiga tulang keras dan delapan tulang
rawan dengan panjang
2,0-2,5 bagian panjang kepala. Warna tubuh
coklat muda dengan lima seri tompel coklat besar yang tidak beraturan. Badan,
kepala dan sirip ditutupi oleh
titik-titik kecil coklat dimana pada bagian tompel berwarna lebih gelap. Sirip
ekor membundar dan mata besar menonjol. Panjang standar untuk ikan dewasa
adalah 11-55 cm. Adapun lebih jelasnya morfologi ikan kerapu macan dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Ikan kerapu macan
Sumber : www.google.com
Gambar 1.
Morfologi Kerapu Macan
Sumber : Evalawaty (2004)
2.1.3 Habitat Dan Penyebaran
Daerah
penyebaran ikan kerapu macan dimulai dari Afrika Timur, Kepulauan Ryukyu
(Jepang selatan), Australia, Taiwan, Mikronesia dan Polinesia. Sedangkan di
Indonesia ikan kerapu banyak ditemukan di perairan pulau Sumatra, Jawa,
Sulawesi, Pulau Buru dan Ambon. Salah satu indikator adanya kerapu adalah
perairan karang (Hermawan., 2004).
Dalam
siklus hidupnya kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman
0,5-30 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam
antara 7,0-40 m, biasanya perpindahan ini berlangsung pada siang dan senja
hari. Telur dan larva bersifat pelagis sedangkan kerapu muda hingga dewasa
bersifat demersal. Habitat favorit larva kerapu muda adalah pantai dekat muara
sungai dengan dasar pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun. Larva
kerapu pada umumnya menghindari permukaan air pada siang hari, sebaliknya pada
malam hari banyak ditemukan di permukaan air. Penyebaran vertikal tersebut
sesuai dengan sifat ikan kerapu sebagai organisme nokturnal, pada siang hari
lebih banyak bersembunyi di liang-liang karang. Sedangkan pada malam hari aktif
bergerak di kolom air untuk mencari makanan.
Parameter
kualitas air yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu temperatur antara
24-31 0C, salinitas antara 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut
lebih besar dari 3,5 ppm dan pH antara 7,8-8,0. Perairan dengan kondisi
tersebut pada umumnya terdapat di perairan terumbu karang Evalawaty (2001).
2.1.4 Kebiasaan Makan
Evalawaty
(2001), menyatakan ikan kerapu macan merupakan hewan karnivora, sebagaimana
jenis-jenis ikan kerapu lainnya. Ikan kerapu macan dewasa adalah pemakan ikan-ikan kecil, kepiting dan udang-udangan,
sedangkan larvanya pemangsa larva moluska (trokofor), rotifer, mikro krustasea, kopepoda dan
zooplankton. Sebagai ikan karnivora, kerapu
cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak di dalam kolam air. Ikan
kerapu mempunyai kebiasaan makan pada
siang hari dan malam hari, namun lebih aktif pada waktu fajar dan senja hari.
Kerapu
biasa mencari makanan dengan menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya.
Kerapu macan mempunyai kemampuan menangkap mangsa lebih cepat dari pada kerapu jenis lain. Sebagai
ikan karnivora, kerapu bersifat kanibalisme yang terjadi mulai pada larva
kerapu berumur 30 hari, dimana pada saat itu larva cenderung berkumpul di suatu
tempat dengan kepadatan tinggi. Berdasarkan perilaku makannya, ikan kerapu
dewasa memangsa ikan-ikan kecil, crustasea dan chephalopoda yang menempati
struktur tropik teratas dalam piramida rantai makanan.
Setelah
menetas sampai dengan hari ketiga larva mendapatkan pakan secara endogenus
yaitu dengan mengabsorbsi kuning telur yang dibawanya. Kemudian mulai mendapatkan pakan secara
eksogenus pada hari ketiga seiring dengan mulai terbukanya mulut. Sesuai dengan
bukaan mulut, larva kerapu memangsa rotifera sebagai pakan pertama. Peralihan
antara mendapatkan pakan secara endogenus ke eksogenus merupakan fase rawan
pertama dalam perkembangan larva sehingga sering terjadi kematian massal antara
50-90%.
2.2 Pengelolaan Induk
2.2.1 Pengadaan Induk
Induk dapat
berasal dari alam atau hasil budidaya. Induk yang ditangkap dari alam harus
dipilih yang sehat dan ditangkap dengan alat tangkap berupa bubu, pancing, tau
jarring. Sebaiknya jangan menangkap induk dengan bahan kimia. Untuk membedakan
induk jantan dan betina dapat dilihat dari penampakan tubuhnya. Bagian perut
induk betina tampak lebih besar, sedangkan induk jantan lebih ramping. Berat
total induk betina minimal 1 kg dan induk jantan 2,5 kg (Akbar dan Sudaryanto,
2001).
2.2.2 Pemeliharaan Induk
Induk yang
baru datang dan sehat perlu waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.
Dari hasil pengamatan, waktu untuk beradaptasi selama 1 sampai 3 minggu.
Keberhasilan beradaptasi ditandai dengan induk mau makan. Proses adaptasi ini
dilakukan dalam bak pemeliharaan induk. Setelah beradaptasi, induk-induk
terpilih dapat dipelihara di darat maupun laut. Pemeliharaan di darat dapat
dilakukan dalam bak pemeliharaan (bak semen atau fiberglass) volume 100 m³. Sementara pemeliharaan di laut dapat dilakukan dalam
keramba jaring apung berukuran 8 x 8 m2 setiap unitnya dengan mata
jaring 2 inchi (Akbar dan Sudaryanto,
2001). Kepadatan induk yang dipelihara dalam bak adalah 1-3 kg/m³ air media.
Sementara kepadatan induk yang dipelihara dalam keramba jaring apung adalah
1-1,5 kg/m³ air media. Perbandingan antara jantan dan betina 1 : 1 (Akbar dan
Sudaryanto, 2001).
1. Pengelolaan pakan
Selama
dalam pemeliharaan, induk memerlukan pakan. Kualitas pakan sangat berpengaruh
pada tingkat kematangan gonad sehingga perlu diperhatikan. Sebaiknya kandungan
protein pakan lebih dari 70%. Jenis pakan yang diberikan antara lain cumi-cumi,
selar, lemuru, japuh, dan udang yang pemberiannya biasa divariasikan (Akbar dan
Sudaryanto, 2001). Dosis pemberian pakan yang diberikan 3–5% dari total berat
badan induk, dengan frekuensi pemberian pakan sekali sehari pada pagi atau sore
hari (Ditjenkan, 1996).
Selain
pakan, induk perlu diberi multivitamin (A, B, C, dan E) setiap dua minggu
sekali dengan dosis 10–15 mg/ekor/minggu. Multivitamin perlu diberikan agar
kebutuhan vitamin biasa terpenuhi walaupun dalam pakan sudah terkandung vitamin
(Akbar dan Sudaryanto, 2001).
2. Pengelolaan air
Dalam
pemeliharaan induk beberapa persyaratan kualitas air yang perlu diperhatikan
antara lain kualitas fisik air dan kualitas kimia air. Parameter fisika dan
kimia air biasanya menjadi pertimbangan utama di dalam pemilihan lokasi, karena
berkaitan erat dengan organisme yang akan dipelihara (Sudjiharno dan Winanto,
1998).
2.2.3 Seleksi Induk
Kematangan
kelamin induk jantan ikan kerapu diketahui dengan cara mengurut bagian perut
ikan (stripping) ke arah lubang
genital agar keluarnya dengan sperma
secara berlebihan dapat dihindari. Sperma yang keluar berlebihan dapat merusak
organ dalam. Sperma yang baik dan siap dipijahkan berwarna putih susu dan
kental. Sedangkan untuk mengetahui tingkat kematangan gonad induk betina
dilakukan dengan metode kanulasi, yaitu dengan cara memasukkan selang kanula
atau kateter berdiameter 1 mm ke lubang genital sedalam 5–10 cm, lalu telur
dihisap. Setelah itu, selang kanula dicabut secara perlahan. Dari hasil
pengamatan telur yang siap dipijahkan harus berdiameter minimal 450 µ (Akbar
dan Sudaryanto, 2001).
2.2.4 Pematangan Gonad
Kualitas gonad yang dihasilkan induk
dipengaruhi oleh input pakan yang diberikan karena pakan memegang kunci penting
dalam pematangan gonad maka kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan pada
saat pematangan gonad harus baik.
Mustamin (1998), selain pemberian pakan
ikan segar, setiap minggu induk diberi multivitamin dan mineral dengan dosis 10
mg/kg induk. Pemberian vitamin dan mineral sangat penting untuk melengkapi
kekurangan vitamin dan mineral yang tidak terdapat dalam pakan, untuk
merangsang pembentukan dan pematangan gonad dan meningkatkan kualitas telur
yang dihasilkan, ditambahkan lagi Vitamin E dapat memperlancar kerja
fungsi-fungsi sel kelamin dengan memacu hormon gonadotropin serta menggiatkan jaringan indung telur.
2.2.5 Pemijahan
Pemijahan
kerapu bisa dilakukan secara alami dan buatan. Pemijahan secara alami ada dua
sistem yaitu pemijahan dengan sistem manipulasi lingkungan dan pemijahan dengan
sistem rangsang hormonal. Sistem
manipulasi lingkungan ini dilakukan dengan memberikan kejutan-kejutan perubahan
temperatur yaitu dengan menurunkan
permukaan air sampai kedalaman 30 cm dari dasar bak. Biasanya induk akan
memijah pada malam hari berkisar antara pukul 23.00–02.00. Suhu mempunyai
pengaruh besar terhadap proses produksi. Suhu yang diterima kulit (cutaneous) oleh organ thermosensor dilanjutkan ke
otak yaitu kelenjar hypothalamus dan condospinalis yang menghasilkan hormon
GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone)
dan LHRH (Luteinizing Hormone Releasing
Hormone) yang merangsang kelamin untuk berproduksi. Perhitungan memijah
berdasarkan siklus bulan, umumnya terjadi pada bulan gelap (sekitar
tanggal 20 pada penanggalan Arab atau
Jawa) sampai bulan terang. Sekelompok
induk dapat memijah secara terus-menerus selama 6-7 hari. Untuk sistem ini,
perbandingan jantan dan betina adalah 1 : 1 (Akbar dan Sudaryanto, 2001).
Sedangkan untuk sistem rangsang hormonal,
Akbar dan Sudaryanto (2001) menyatakan
masih merupakan pemijahan alami, tetapi induk perlu dirangsang dengan
penyuntikan hormon. Hormon yang digunakan adalah hormon buatan seperti HCG dan
Pb (puberogen). Dengan dosis HCG
1.000–2.000 IU/kg induk, sedangkan untuk Pb 150–225 RU/kg induk (Ditjenkan,
1996).
2.3 Penanganan Telur
2.3.1 Pemanenan Telur
Pemanenan telur dilakukan pada pagi hari
atau jika telur telah mengalami perkembangan embrio fase gastrula, sehingga telur sudah cukup kuat untuk dipindahkan.
Pemanenan telur dilakukan dengan cara resirkulasi air. Aliran air dari bak
pemijahan ke kantong pengumpul telur diusahakan mengalir pelan, sehingga
kemungkinan kerusakan telur akibat pemanenan dapat dikurangi (Hermawan,
2004).
2.3.2 Seleksi Telur
Seleksi telur dilakukan dengan cara
mematikan atau mengangkat aerasi dari wadah penampung telur. Telur yang baik
akan mengapung atau melayang pada permukaan air, berwarna transparan, berbentuk
bulat, kuning telur berada di tengah berdiameter 850-950 mikron. Telur yang
tidak menetas akan mengendap di dasar wadah, berwarna putih susu. Telur yang
tidak menetas dibuang dengan cara disiphon.
2.3.3 Perhitungan Telur
Menurut Hermawan, (2004), perhitungan telur dilakukan setelah telur diseleksi,
kondisi induk turut menentukan frekuensi pemijahan, dimana induk yang
dipijahkan harus dalam keadaan sehat dan tidak terserang penyakit, selain itu
ditentukan juga oleh faktor lain seperti musim dan tingkat kematangan gonad,
menjelaskan bahwa telur yang sudah ditampung di akuarium dihitung jumlah
telurnya dengan metode volumetri, yaitu dengan menghitung jumlah telur pada
volume tertentu dan kemudian dihitung jumlah total telur dengan rumus :
Vol akuarium
Jumlah telur
= x
Rata–rata jumlah telur
Volume sampel
|
2.3.4 Penetasan Telur
Perkembangan telur sejak pembuahan sampai
penetasan membutuhkan waktu selama 19 jam, dimana pembelahan sel pertama kali
terjadi 40 menit setelah pembuahan. Pembelahan sel berikutnya berlangsung 15
sampai 30 menit sampai mencapai tahap multi sel selama dua jam 25 menit.
Setelah tahap multi sel, tahapan berikutnya adalah blastula, grastula, neorula, dan embrio. Gerakan pertama pada embrio terjadi pada 16 jam setelah
pembuahan, selanjutnya telur menetas menjadi larva pada jam ke-19 pada suhu
27-29 ºC. Berdasarkan pengamatan pada mikroskop dapat diketahui bahwa telur
kerapu berbentuk bulat tanpa kerutan, cenderung menggerombol pada kondisi tanpa
aerasi dan kuning tersebar merata. Telur transparan dengan diameter kurang
lebih 850 mikron dan tidak memiliki ruang perivitelline.
Perkembangan embrio
dimulai dari 1 sel, 2 sel, 4 sel,
8 sel, 16 sel, 32 sel, 128 sel, atau banyak sel kemudian morula, blastula, gastrula, yang akhirnya menjadi embrio yang berkepala memiliki bola mata
dan tunas ekor Akbar dan Sudaryanto (2001).
2.4 Pertumbuhan dan Pemeliharaan Larva
2.4.1 Persiapan Bak Larva
Akbar dan
Sudaryanto (2001) menyatakan bahwa, bak yang akan digunakan harus dibersihkan,
dikeringkan, dan dibilas, lalu diisi air laut yang sudah disaring dengan
salinitas 30–33 ppt dan suhu 27-29º C. Jumlah air laut yang digunakan sekitar
setengah volume bak. Sebelum larva kerapu macan ditebar, air laut tersebut
perlu direndam dengan kaporit dan diberi aerasi sekitar dua hari. Tujuannya
adalah agar air terbebas dari bakteri dan hama yang dapat mengganggu
pertumbuhan larva. Dosis kaporit sekitar 30–50 ppm. Sebelum digunakan, air
media ini harus dibiarkan selama tiga hari agar kandungan klorinnya hilang
sehingga aman untuk larva.
2.4.2 Pemberian Pakan
Menurut
Akbar dan Sudaryanto (2001) menyatakan bahwa, larva yang baru berumur sehari,
saluran pencernaannya sudah mulai tampak, mulut dan anus belum membuka, serta
calon mata sudah terbentuk berwarna transparan. Larva ini masih mempunyai
cadangan makanan berupa kuning telur. Namun, sebaiknya dalam bak sudah diberi
fitoplankton berupa Chlorella sp., Tetraselmis sp., atau Dunalialla sp., dengan kepadatan 1–5 x
105 sel/ml air media. Tujuan pemberian fitoplankton tersebut untuk menjaga
keseimbangan kualitas air dan pakan zooplankton dalam bak pemeliharaan.
Umur 3 hari
(D3) kuning telur mulai terserap habis, perlu segera diberikan pakan dari luar
berupa Rotifera Brachionus plicatilis
kepadatan 1–3 ekor/ml. Pemberian pakan ritofera ini dilakukan sampai larva
berumur 16 hari (D16) dengan penambahan secara bertahap hingga mencapai
kepadatan 5–10 ekor/ml.
Pada hari
kesembilan (D9) larva mulai diberi pakan nauplii artemia yang baru menetas
dengan kepadatan 0,25–0,75 ekor/ml media. Pemberian pakan nauplii artemia ini
dilakukan sampai berumur 25 hari (D25) dengan peningkatan kepadatan hingga
mencapai 2–5 ekor/ml media. Disamping itu pada D17 larva mulai dicoba dengan
pemberian pakan artemia yang telah berumur 1 hari kemudian secara bertahap
pakan yang diberikan diubah dari artemia umur 1 hari ke artemia setengah dewasa
dan akhirnya dewasa sampai larva berumur 50 hari.
2.4.3 Pertumbuhan Larva
Larva yang
baru menetas terlihat transparan, melayang-layang (planktonis) dan gerakannya
tidak aktif serta tampak kuning telur dan oil globulenya. Larva akan berubah
bentuk menyerupai kerapu dewasa setelah berumur 31 hari. Adapun perubahan bentuk larva kerapu macan
dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Perkembangan Larva Kerapu Macan
Masa krisis
pertama larva kerapu dialami pada waktu berumur dua hari (D2) memasuki umur
tiga hari (D3), dimana pada saat itu kandungan kuning telur telah mulai menipis
dan terserap habis. Setelah cadangan pakan tersebut habis, maka pemenuhan pakan
yang sesuai dengan ukuran mulut dan nilai gizi pakan mutlak diperlukan untuk
menjamin kelangsungan hidup larva. Masa krisis ini akan berlangsung sampai
dengan hari ke enam (D6), dikarenakan terjadi perubahan cara hidup dari larva
yang semula gerakannya aktif. Larva harus aktif mencari makan dari luar karena
kandungan kuning telur yang merupakan cadangan pakan telah habis. Pemberian
pakan yang sesuai baik jenis, maupun kandungan gizinya mutlak diperlukan. Larva
yang telah melewati umur enam hari (D6) mempunyai peluang untuk hidup lebih
besar, karena hampir semua larva yang bertahan hidup telah mampu mencari pakan
yang tersedia disekelilingnya. Masa krisis kedua dijumpai pada waktu larva
berumur delapan hari (D8) memasuki umur sembilan hari (D9), dimana pada saat
itu mulai terjadi perubahan bentuk tubuh sangat panjang dan spesifik, sampai
pada hari ke-20 (D20) larva berkembang dengan baik dan belum menunjukkan adanya
tanda-tanda kematian, akan tetapi memasuki hari ke-22 (D22), ke-23 (D23)
sebagian dari larva baik yang masih kecil maupun yang sudah besar mulai nampak
adanya kematian. Diawali dengan adanya gerakan memutar (whirling) yang tidak terkendali kemudian terbalik lalu mati.
2.4.4 Pengelolaan Air
1. Pengelolaan Kuantitas Air
Bak penetasan telur yang
sekaligus merupakan bak pemeliharaan larva perlu dijaga kualitas airnya dengan
penambahan phytoplankton Chlorella,
dengan kepadatan 5x103-104 sel/ml. Phytoplankton akan menggeliminir pembusukkan
yang ditimbulkan oleh telur yang tidak menetas dan sisa cangkang telur yang
ditinggalkan. Pembersihan dasar bak dengan cara penyiphonan dilakukan pada hari
pertama dengan maksud untuk membuang sisa-sisa telur yang tidak menetas dan
cangkang telur. Penggantian air dilaksanakan pertama kali pada saat larva
berumur enam hari (D6) yaitu sebanyak 5-10%. Penggantian air dilakukan setiap
hari dan dengan bertambahnya umur larva, maka volume air yang perlu diganti
juga semakin banyak. Pada saat larva telah berumur 30 hari (D30) pengganti air
dilakukan sebanyak 20% dan bila larva telah berumur 40 hari (D40) air yang
diganti sebanyak 40%.
2. Pengelolaan Kualitas Air
a. Suhu
Perairan
laut mempunyai kecendrungan bersuhu konstan, karena mengandung panas jenis yang
tinggi. Selama ini pemeliharaan ikan kerapu macan yang dilakukan di keramba
jaring apung menunjukkan prilaku makan dan pertumbuhan yang baik pada kisaran
suhu antara 27-29º C. Perubahan suhu yang cukup ekstrim akan berpengaruh
terhadap proses metabolisme atau nafsu makan.
b. pH
Tolak ukur
yang digunakan untuk menentukan kondisi perairan asam atau basa biasa disebut
pH., selebihnya dapat digunakan sebagai indeks kualitas lingkungan perairan.
Kondisi perairan dengan pH netral atau sedikit basa sangat ideal untuk
kehidupan ikan air laut. Perairan dengan pH rendah dapat mengakibatkan
aktifitas tubuh menurun atau ikan menjadi lemah, lebih mudah terkena infeksi
dan biasanya diikuti dengan tingkat mortalitas tinggi..
c. DO
Konsentrasi
dan ketersediaan oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi
ikan yang dibudidayakan. Oksigen terlarut sangat dibutuhkan bagi kehidupan ikan
da organisme air lainnya. Konsentrasi O2 dalam air dapat mempengaruhi
pertumbuhan, konversi pakan, dan mengurangi daya dukung perairan. Kerapu macan
dapat hidup layak dalam dengan konsentrasi oksigen terlarut lebih dari 5 ppm
(Hermawan., 2004)
d. Salinitas
Ikan kerapu
hidup pada kisaran salinitas yang luas antara 15–45 ppt atau tahan di dalam air
tawar lebih dari 15 menit. Namun untuk mengoptimalkan pertumbuhan ikan, maka
salinitas air yang digunakan untuk kegiatan pembenihan sebaiknya berkisar
antara 28–32 ppt.
2.5 Penyakit dan
Penanggulangannya
2.5.1 Penyakit Akibat Parasit
Proses
terjadinya serangan parasit diawali oleh menetasnya telur Nerocilla sp. yang kemudian berkembang di dalam kantung perut ikan
bagian bawah. Selanjutnya, telur tersebut keluar, menetas, dan berenang
kemudian masuk ke ikan lain. Parasit ini biasanya menempel pada bagian mulut
ikan. Ciri-ciri ikan yang terserang parasit ini antara lain terjadinya
kerusakan pada insang hingga berwarna cokelat, nafsu makan ikan turun drastis,
dan ikan cenderung mendekati saluran air masuk (Subyakto dan Cahyaningsih, 2003).
Upaya
pengendalian parasit-parasit tersebut sebagai berikut.
- Menghilangkan parasit secara mekanis menggunakan pinset
- Merendam ikan ke dalam larutan formalin 20 ppm selama satu jam
- Merendam ikan ke dalam air tawar selama 5-15 menit.
2.5.2 Penyakit Akibat Jamur
Ada dua macam penyakit kerapu
yang disebabkan oleh jamur, yakni Saprolegniasis
yang disebabkan oleh jamur Saprolegnia
sp. dan Ichthyosporidosis yang
disebabkan oleh jamur Ichtyosporidium
sp. Serangan Saprolegniasis ditandai oleh perubahan warna kulit menjadi putih
keabu-abuan dan tanda serangan Ichtyosporidosis
berupa luka berlubang di bagian kepala. Upaya pengendalian yang dapat dilakukan
adalah merendam ikan ke dalam larutan Methylene Blue 0,1 ppm selama 15–45 menit
dan diulangi selama tiga hari berturut-turut (Subyakto dan Cahyaningsih, 2003).
2.5.3 Penyakit Akibat Virus
Penyakit virus yang menyerang
kerapu adalah Viral Necrotic Nerveus
(VNN) yang disebabkan oleh virus nodavirus. Serangan virus ini mulai meluas
sejak tahun 1998. Biasanya virus ini menyebabkan kematian masal pada stadia
juvenil atau larva. Larva yang terserang mula-mula tenggelam di dasar bak
kemudian akan mengapung di permukaan air dengan kondisi perut mengembung.
Sejauh ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh
virus. Satu-satunya jalan untuk membasminya adalah memusnahkan ikan yang telah
terinfeksi virus tersebut. Langkah pencegahan yang dapat dilakukan adalah
memberikan pakan yang nilai gizinya seimbang, menjaga sanitasi lingkungan,
manajemen kualitas air yang baik, dan menggunakan induk yang bebas virus
(Subyakto dan Cahyaningsih, 2003).
2.6 Grading dan Pemanenan Benih
Grading dimaksudkan untuk
menyeragamkan ikan peliharaan yang ditempatkan dalam satu wadah yang telah
ditentukan dan bukan merupakan jalan pemecahan untuk mangatasi sifat kanibal,
melainkan mengurangi sifat tersebut. Ikan kerapu macan sudah mulai digrading pada
umur D35, dimana larva sudah menjadi benih.
Menurut
Subyakto dan Cahyaningsih (2003) menjelaskan bahwa, pemanenan dilakukan secara
berhati-hati agar ikan tidak stress. Sehari sebelum pemanenan, ikan dipuasakan
terlebih dahulu untuk mengurangi kotoran dan mencegah muntah dalam kantung
plastik pada saat transportasi.
2.7 Pemasaran
Sebelum menggarap bisnis,
hendaknya analisis terhadap pasar potensial yang akan dimasuki oleh produk yang
akan dihasilkan oleh perusahaan dilakukan terlebih dahulu. Dengan demikian akan
diketahui keberadaan pasar potensial yang dimaksud. Atau, bisnis akan mencoba
menciptakan pasar potensialnya sendiri sehingga produk dapat menjadi leader (Umar, 2005).
Analisis
suplai dan permintaan yang dapat menunjukkan bahwa masih ada peluang atau
tidak. Setelah itu, penilaian tentang kelayakan dari suatu ide/gagasan dari
sisi pasar sudah dapat dilakukan barulah langkah berikutnya menganalisis
pemasaran secara lebih jelas dimulai dari memahami dan mengerti betul prospek
pemasaran, kondisi industri dari produk yang akan dipasarkan nantinya,
menganalisis pesaing dan mengkategorikannya dalam urutan tingkat penguasaan
pasar yang telah mereka lakukan saat ini, mengidenfikasi dan merinci secara
jelas pelanggan prospektif yang akan dijadikan sasaran pemasaran nantinya,
menyatukan profil pelanggan, dan akhirnya menyusun strategi, rencana dan
anggaran penjualan serta anggran biaya penjualan yang diperlukan untuk
merealisasikan tujuan dari pendirian ataupun pengembangan usaha yang telah
ditentukan sebelumnya.
3.1. Tempat
dan Waktu PKL
Praktek
Kerja Lapang IV (PKL IV) ini dilaksanakan di CV. Dwi
Jaya
Desa Sanggalangit Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng
Provinsi Bali dari
tanggal 8 Oktober - 21
Oktober 2012.
3.2. Metode Penelitian
Metode yang
digunakan pada Praktek Kerja Lapang IV (PKL IV) adalah metode survey dengan sistem magang.
Menurut Nasir (1988), yang dimaksud dengan metode survey adalah penyelidikan yang dilakukan untuk
memperoleh fakta-fakta dan mencari fakta secara faktual. Dalam PKL IV ini fakta atau
data yang dicari yaitu tentang bagaimana proses pelaksanaan teknik pembenihan ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Sedangkan untuk memperoleh keterampilan digunakan
sistem magang. Magang merupakan kegiatan untuk berlatih bekerja bagi mahasiswa
disuatu instansi atau perusahaan, sistem magang adalah suatu belajar mengajar dalam bentuk
praktek secara langsung ditempat yang digunakan untuk magang yang bertujuan
untuk meningkatkan keterampilan dan kecakapan dalam membuat kreativitas, sikap
kritis, rasa percaya diri dan jiwa kewiraswastaan.
3.3. Sumber Data
Data yang
dikumpulkan pada Praktek Kerja Lapang IV (PKL IV) ini adalah data primer dan data sekunder. Menurut
Narbuko dan Achmadi (2001),
pengertian data primer dan data sekunder adalah :
a. Data
primer adalah data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat atau langsung dari sumber ditempat PKL. Dalam
PKL ini, data primer yang akan diperoleh berupa data mengenai teknik pembenihan ikan kerapu macan, persiapan air dan perlakuannya dilihat dari segi
kimia, fisika, dan biologi monitoring
parameter kualitas air dan pemasaran hasil.
b. Data
sekunder adalah data atau
informasi yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya, bias dari literatur di perpustakaan. Data
sekunder
yang akan diambil adalah keadaan umum lokasi, data tentang jumlah petakan kolam dan
fasilitas, data tentang struktur organisasi,
denah lokasi, peta lokasi.
3.4. Metode
Pengumpulan Data
Menurut Narbuko dan Achmadi (2001),
metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi dan wawancara. Pengertian
observasi dan wawancara adalah :
a. Observasi
adalah pengumpulan
data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematis
gejala-gejala yang diamati. Jenis
observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi dimana penulis
yang melakukan observasi turut ambil bagian atau berada dalam obyek yang diobservasi.
b. Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian
yang berlangsung secara lisan, dilakukan oleh dua orang atau lebih, bertatap
muka, mendengarkan secara langsung informasi dan keterangan.
Dalam pelaksanaan wawancara, jenis data yang ditanyakan berupa :
v Persiapan
media
v Proses
Pemijahan
v Keadaan
umum lokasi
v Aspek
sosial ekonomi
Untuk lebih jelasnya daftar pertanyaan dapat
di lihat pada Lampiran 1.
3.5. Metode
Pengolahan dan Analisa Data
3.5.1. Pengolahan
Data
Menurut Narbuko dan
Achmadi (2001), data primer dan data sekunder yang dikumpulkan akan
dilakukan pengolahan data melalui tahapan:
1. Editing adalah pemeriksaan kembali data yang telah
terkumpul untuk mengetahui apakah semua data sudah sesuai dengan yang diharapkan.
2.
Tabulating
adalah penyusunan data yang
berbentuk tabel untuk keperluan mempermudah
analisis data.
3.5.2. Analisa Data
Analisis deskripti fmerupakan
analisis yang paling mendasar untuk menggambarkan keadaan data secara umum. Menjelaskan hal-hal yang diamati
secara sistematis dan membandingkan dengan literatur dan pengamatan lainnya
yang berhubungan dengan materi.
Analisis
kuantitatIf merupakan pengolahan
data dengan kaidah-kaidah matematik terhadap data angka atau numeric. Yaitu analisa data yang
diperoleh dengan menggunakan perhitungan-perhitungan, data yang akan dihitung
menggunakan rumus meliputi :
a) Derajat penetasan telur menurut
Mustamin dkk. (1998) menggunakan rumus:
HR = Jumlah larva yang
dihasilkan x 100%
Jumlah
telur yang ditebar
b) Tingkat kelangsungan hidup
menurut Mustamin dkk., (1998) dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
SR = Jumlah larva pada akhir pemeliharaan x 100%
Jumlah larva pada awal pemeliharaan
c)
Fertilization Rate menurut Mustamin dkk.,
(1998) dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Jumlah telur terbuahi x 100%
Fertilization Rate = Total telur
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengelolaan Induk
Pengelolaan induk di CV. Dwi Jaya,
induk di peliharan di dalam keramba agar membuat induk kerapu seperti berada di
habitat aslinya dan induk yang ingin di pijahkan akan di bawah kedalam bak. Hal
ini agar mudah dalam pengambilan telur kerapu macan.
5.1.1 Pengadaan Induk
Induk
kerapu macan yang berada di CV. Dwi jaya berasal dari penangkapan di alam di
daerah Indonesia bagian timur. Jumlah induk kerapu macan di CV. Dwi Jaya
berjumlah 46 ekor. Induk jantan berjumlah 23 ekor denngan berat rata-rata 8
kg/ekor dan betina berjumlah 23 ekor dengan berat 4-5 kg/ekor, dengan
perbandingan 1:1.
Induk kerapu yang berasal dari alam
diperoleh dari tangkapan nelayan yang
dilakukan di daerah Indonesia bagian timur. Penangkapan induk dari alam
dilakukan dengan menggunakan pancing, jaring dan bubu. Pengangkutan induk
dilakukan dengan sistem terbuka dan dilakukan dengan sistem resirkulasi dalam
kapal. Induk
yang berasal dari alam dikarantina terlebih dahulu selama satu bulan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
5.1.2 Pemeliharaan Induk dan Pematangan Gonat
Pemeliharaan
induk di CV. Dwi Jaya dilakukan pada bak beton dengan sistem sirkulasi. Induk dipelihara pada bak beton dengan kapasitas 200 ton dengan bagian
atapnya diberi tutup berupa jaring untuk menghindari induk meloncat keluar pada
saat diberi pakan. Induk yang dipelihara diberi pakan berupa ikan rucah dan cumi.
Selain itu induk juga diberi vitamin C untuk
menambah daya tahan tubuh dan vitamin E untuk merangsang kematangan gonad
dengan dosis 2 gram/hari/kolam dengan cara memasukkan vitamin kedalam daging
ikan rucah dan cumi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hermawan dkk., (2004) bahwa dasar bak berbentuk kerucut dengan kemiringan 5°
dengan tujuan untuk memudahkan dalam pengelolaan kebersihan bak terutama untuk
lebih mudah membuang kotoran. Bak induk dilengkapi dengan empat titik aerasi pada bagian tepi bak untuk menambah kandungan oksigen dan
dilengkapi juga dengan pipa pemasukan air, pipa pengeluaran air serta bak
pemanenan telangur. Hal ini sependapat dengan Mustami (1998) yang mengatakan
pemberian vitamin dan mineral sangat penting untuk melengkapi kekurangan
vitamin dan mineral yang tidak terdapat dalam pakan, untuk merangsang
pembentukan dan pematangan gonad dan meningkatkan kualitas telur yang
dihasilkan, ditambahkan lagi Vitamin E dapat memperlancar kerja fungsi-fungsi
sel kelamin. Bak pemeliharaan dan pemijahan induk dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Bak
Pemeliharaan dan Pemijahan Induk
(Data Primer, 2012)
Perawatan
bak induk dilakukan dalm 2 minggu sekali dan induk di rendam air tawar dalam 1
bulan sekali selama 5 menit untuk menghilangkan kutu yang ada pada tubuh ikan
kerapu.
Kesehatan
induk dijaga dengan melakukan pembersihan dan pencucian bak yang dilakukan
sebayak dua kali dalam sebulan yaitu seminggu sebelum pemijahan atau sebelum
bulan gelap, serta sesudah pemijahan. Hal ini dapat dilakukan apabila induk sudah
tidak lagi mengeluarkan telur.
5.2. Pemijahan
Pengadaan telur pada
CV. Dwi Jaya ini berasal dari hasil pemijahan induk sendiri. Pemijahan
dilakukan pada bak pemeliharaan induk dengan perbandingan induk jantan dan
betina yaitu 1 : 1 ekor. Induk kerapu memijah secara alami dan akan memijah
pada malam hari pada bulan purnama yang kemudian telur dapat dipanen pagi
harinya. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Akbar
dan Sudaryanto (2001)
yang mengatakan bahwa induk akan memijah pada malam hari berkisar antara pukul
23.00–02.00. Suhu mempunyai pengaruh besar terhadap proses produksi. Telur kerapu macan dapat
mencapai 1.500.000 butir untuk berat induk 8 kg.
5.3 Penanganan Telur
Penanganan
telur merupakan proses yang dilakukan agar telur tetep dalam kondisi maksimal
dan mampu menetas dengan seluruhnya.
5.3.1 Pemanenan Telur
Pemanenan
telur dilakukan pada pagi hari yaitu pada pukul 06.00 WIB. Pemanenan dilakukan
pada pagi hari karena telur telah mengalami perkembangan embrio fase gastrula, sehingga telur sudah cukup
kuat untuk dipindahkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mustamin dkk., (1998) bahwa pemanenan telur
dilakukan pada pagi hari atau jika telur telah mengalami perkembangan embrio
fase gastrula, sehingga telur sudah
cukup kuat untuk dipindahkan. Pemanenen
telur dilakukan melalui sistem sirkulasi air dimana telur akan terbawa aliran
air keluar yang menuju bak pemanenan
telur melalui saluran yang ada pada dinding bak. Aliran air pada bak
penampungan telur diusahakan aliranya pelan dengan tujuan menghindari kerusakan
pada telur. Sistem sirkulasi ini digunakan dalam pemanenan telur, untuk
memudahkan dalam pemanenan telur.
Telur
yang terbawa air akan tertampung pada
kantong pengumpul telur yang berada
dalam bak penampungan telur. Kantong pengumpul telur terbuat dari screennet
dengan mess size 150-200 µm. Telur yang telah tertampung pada kantong
pengumpul telur dipanen dengan menggunakan plankton net dan ditampung dalam
ember kemudian dipindahkan ke dalam
akuarium dan diberi aerasi.
5.2.2 Seleksi Telur
Setelah
pemanenan, dilakukan seleksi telur dengan tujuan untuk mendapatkan telur yang
berkualitas baik sehingga mendapat tingkat penetasan telur yang tinggi dan
menghasilkan larva yang berkualitas.
Telur yang sudah dipanen ditampung ke dalam aquarium dengan volume 100
liter diberi aerasi kemudian aerasinya dimatikan dan tunggu beberapa
menit. Telur yang jelek dan tidak
terbuahi akan mengendap di dasar aquarium dengan ciri - ciri berwarna putih susu,
sedangkan telur yang terbuahi dengan baik akan melayang – laying di badan dan
permukaan air dengan ciri-ciri transparan, berbentuk bulat, dan kuning telur
berada di tengah. Telur yang tidak terbuahi dibuang dengan cara
disiphon. Hal ini sesuai dengan pendapat
Mustamin dkk., (1998) bahwa telur
yang baik akan terapung di bagian permukaan dengan warna transparan berbentuk
bulat, kuning telur berada di tengah, sebaliknya telur yang jelek berada di
dasar, berwarna putih susu. Telur yang akan di tebar kedalm bak pemel
5.4. Pemeliharaan Larva
Telur yang telah
ditebar akan menetas setelah 18 jam. Telur di tebar sebanyak 100.000 butir telur. Pada
saat ukuran benih 3 cm benih yang d
tebar dalam 1 bak sekitar 800-1000 ekor. Pada saat setelah penetasan larva mulai dikatakan
dengan umur D1, larva berumur D1 masih
ikut arus dan belum bisa membuka mata setelah D2 larva sudah mulai membuka mata dan pada umur D3 larva
mulai bisa bergerak dan makan. Sehingga pada saat D3 larva diberi pakan berupa chlorella dan rotifer. Dalam pemeliharaan larva juga dilakukan
penyiponan, penyiponan dilakukan 2 kali yait pada saat berumur D15 dan pada saat
panen, penyiponan ini dilakukan untuk menghilangkan lumut pada bak yang dapat
menggangu pada saat panen karena apabila terdapat lumut akan banyak nener yang
tersangkut pada lumut saat pemanenan. Selain penyiponan sirkulasi air juga
dilakukan pada saat larva berumur D10 hingga. Sirkulasi air dilakukan dengan cara pada saat
pagi hari air diturunkan dan pada saat siang atau sore dilakukan penambahan
air, tetapi sebelum berumur D10 yaitu antara
umur D5 atau D7 juga sudah
dilakukan pengurangan air karena air pada bak terus bertambah karena pemberian
pakan berupa chlorella dan rotifera tetapi belum bisa ditambah air karena larva
yang belum kuat. Hal ini berbeda dengan pendapat Murtidjo (2002), yang
menjelaskan bahwa pada saat larva
berumur 9 hari mulai dilakukan penggantian air pada bak sekitar 10% per hari
sampai larva berumur 20 hari. Setelah larva berumur 21 hari dilakukan
penggantian air sebanyak 100% per hari dan secara bertahap salinitas air
diturunkan hingga 20 ppt. Bentuk bak benih larava di CV. Dwi Jaya
seperti pada gambar 4.
Gambar 4. Bak larva (Data
Primer, 2012)
5.5
Pengelolaan Pakan
Pada proses pengelolaan pakan pada larva
ikan diberikan pakan berupa pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yang diberikan berupa
clorela, rotifera Artemia dan udang
rebon. Sedangkan pakan buatan
diberikan berupa pellet. Pakan tersebut diberikan kepada ikan
berdasarkan ukuran bukaan mulut larva, sehingga larva mampu mencerna pakan tersebut
dengan baik serta berdasarkan kandungan nutrisi, protein, dan vitamin yang
cukup bagi ikan. Jadwal pemberian pakan
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jadwal Pemberian Pakan Larva
Kerapu Macan
Umur
|
Jenis Pakan
|
Jumlah
|
Waktu
Pemberian/hari
|
D.3-D.22
|
Clorela
|
15000 sel/ekor
|
2 kali
|
D.4-D.22
|
Rotifer
|
15 sel/ml
|
2 kali
|
D.14
|
Artemia
|
3 ind /ml
|
1 kali
|
D.27
|
Udang rebon
|
-
|
1 kali
|
Sumber: Data Primer, (2012)
5.5.1. Pakan Alami
a. Chlorella sp
Chlorella sp
diberikan pada saat larva berumur D.3 sampai larva berumur D.22 sebanyak 15.000 sel/ml. Pemanenan clorella dilakukan setelah
berumur 4 hari. Cara pemberiannya dengan
menyedot clorella dari permukaan dengan menggunakan spiral 2 dam dan ujung
outputnya diberi saringan berupa planktonet ukuran 2,75 mikro penggurangana air
berkisar 30%. Pemberian clorela pada saat larva berumur D.3
hanya diberikan satu kali sehari yaitu pada sore hari. Hal ini dilakukan
untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke dalam media pemeliharaan. Hal
ini sesuai dengan Subyakto dan Cahyaningsih (2003) bahwa pemberian clorela bertujuan menjaga air dan
mengatur intensitas cahaya yang masuk ke dalam bak pemeliharaan. Selanjutnya
fitoplankton diberikan dua kali sehari yang diberikan pada pagi dan sore hari
sampai larva berumur D.18. Penambahan frekuensi pemberian clorela bertujuan menjaga
kualitas air, mengatur intensitas cahaya yang masuk ke dalam bak serta sebagai
pakan rotifera. Hal ini sesuai dengan pendapat Mustamin dkk., (1998) bahwa pemberian fitoplankton (Nannochloropsis oculata) pada bak larva dimaksudkan sebagai
penyeimbang kualitas air dan pakan rotifera yang ada dalam bak pemeliharaan
larva.
Pemberian clorella ini
dilakukan dengan cara mengalirkan dari drum plastik volume 200 liter.
Fitoplankton tersebut dialirkan secara gravitasi melalui selang aerasi sebanyak
lima buah dengan panjang tertentu supaya penyalurannya merata. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi goncangan pada saat
pemberian fitoplankton yang dapat menyebabkan larva stres dan mempermudah
pengontrolan fitoplankton yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Subyakto dan Cahyaningsih (2003) bahwa teknik pemberian clorella ke
dalam bak pemeliharaan dilakukan dengan cara pelan agar penyebarannya merata
dan tidak menggangu larva.
b. Rotifera
Pemberian rotifera diberikan mulai larva
berumur D.4 sampai larva berumur D.22. Rotifera diberikan pada saat larva
berumur D.4 karena pada saat itu cadangan makanan berupa kuning telur pada
larva sudah mulai habis. Larva berumur D.5 sampai D.22 pemberian rotifera sebanyak 2 kali sehari yaitu pagi dan sore
hari dengan dosis 15 ekor/ml. Cara pemberiannya dengan menyedot rotifer dari
permukaan dengan menggunakan spiral 2 dam dan ujung outputnya diberi saringan
berupa planktonet ukuran 2,75 mikron. Hal ini disebabkan karena larva D.4 mulut
dan sistem pencernaan mulai berfungsi sehingga kebutuhan pakan dari luar
tubuhnya harus terpenuhi, disamping cadangan makanan sudah terserap habis. Hal
ini sesuai berbeda dengan pendapat Mustamin dkk.,
(1998) bahwa pada saat larva berumur D.3 cadangan makanan sudah terserap habis,
mulut dan sistem pencernaan sudah mulai berfungsi sehingga larva membutuhkan
pakan dari luar tubuhnya.
Pemberian rotifera menggunakan gayung pakan kemudian dituangkan
pada titik-titik aerasi dengan tujuan rotifera tersebar merata dalam bak
pemeliharaan larva. Pemberian dilakukan secara hati-hati untuk menghindari
goncangan yang dapat menyebabkan larva menjadi stress.
Pengontrolan
pemberian roifera dilakukan satu jam setelah pemberiannya. Hal ini dilakukan
dengan tujuan menghindari pemberian yang berlebihan dan untuk menentukan dosis
pemberian selanjutnya serta menghindari terjadinya persaingan oksigen pada
malam hari dengan larva. Hal ini sesuai dengan pendapat Mustamin dkk., (1998).
c. Artemia
Naupli Artemia mulai diberikan pada
saat larva berumur D.14 dengan frekuensi pemberian satu kali dengan dosis sebanyak 3 ind/ml dan apabila habis dalam waktu 2 jam
maka dosis harus di naikan cara pemberiannya dengan cara pengurangan air
didalam sekitar 30% dengan menggunakan spiral 2 dam dan ujungnya di beri
penyaring. Pemberian Artemia sama seperti pemberian rotifera yaitu dengan menggunakan
gayung pakan yang dituangkan pada titik-titik aerasi supaya Artemia tersebar merata pada bak
pemeliharaan. Pengontrolan pemberian Artemia
sama seperti pada rotifera dilakukan satu jam setelah pemberiannya. Hal ini
juga dimaksudkan menghindari pemberian pakan yang berlebihan dan dapat
menentukan dosis pakan selanjutnya.
d. Udang
rebon
Pada pemeliharaan larva kerapu macan di CV.Dwi
jaya, pemberian udang rebon berdasarkan pada perkembangan pertumbuhan larva,
udang rebon diberikan pada saat larva telah berumur D.27. Larva berumur D.28, udang rebon diberikan
1 kali dalam sehari yaitu pada pukul 08.00 WITA dengan dosis 10 gr/hari. Pemberian udang rebon sendiri melihat ketersediaan
udang rebon di lapangan, jika persedian cukup pemberian dilakukan berdasarkan
jadwal, kalau tidak udang rebon dalam pemberiannya digantikan menggunakan pakan
buatan.
5.5.2. Pakan Buatan
Pakan buatan juga diberikan pada larva selain pakan alami untuk
mencukupi kebutuhan nutrisinya. Pakan
buatan yang diberikan adalah pellet.
Dosis, jenis dan frekuensi pakan buatan diberikan berdasarkan umur,
ukuran, dan bukaan mulut larva. Pemberian pakan diberikan samapi ikan kenyang .
Hal ini sesuai dengan pendapat Subyakto dan Cahyaningsih (2003) selama masa pertumbuhan larva, pakan
buatan diberikan berdasarkan ukuran partikelnya. Larva berumur D.7 sudah mulai
diberikan pakan buatan dengan kandungan protein 50-70%.
5.6. Pengendalian Hama Dan Penyakit
Hama yang
mengganggu pemeliharaan larva kerapu adalah jentik nyamuk. Jentik nyamuk ini berasal dari bak
plankton yang masuk kedalam bak larva pada saat pengisian air setelah dilakukan
sirkulasi media pemeliharaan. Jentik nyamuk bisa memakan rotifera yang
diberikan untuk larva sehingga bisa menjadi kompetitor yang dapat mengganggu
pertumbuhan larva. Jentik nyamuk hidup dipermukaan air dalam bak larva sehingga
untuk menguranginya hanya perlu dengan cara diseser pada permukaan air.
Selama PKL berlangsung tidak
ditemukan penyakit yang menyerang larva kerapu. Namun, penyakit yang biasanya
menyerang larva kerapu adalah penyakit
yang dikenal dengan anten dan jamur.
5.6.1. Anten
Penyakit ini biasanya menyerang
larva ikan kerapu. Penyakit ini disebabkan karena kekurangan pakan alami atau
lingkungan air yang tidak baik, keadaan air banyak mengandung lumpur.
5.6.2. Cacat
Biasanya benih kerapu banyak yang
mengalami cacat tubuh. Seperti cacat insang, mulut dan bentuk tubuh bengkok
benih yang sudah cacat tidak bisadi pergunakan lagi dan harus di buang. Cacat insang
ini disebabkan karena kurang derasnya air yang mengalir. Cacat mulut biasanya
terjadi karena kesalahan dalm pemberian pakan dan bentuk bbaddan bengkok
biasanya terjadi karena air yang kurang baik dan sudah tercemar. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar 5 berikut.
Gambar 5. Cacat
insang (Data primer, 2012)
5.7. Grading
Proses
grading dan pemanenan pada dasarnya adalah sama, yang membedakan adalah larva
yang dipanen langsung dikemas untuk dijual, sedangkan larva yang digrading
dimasukkan kembali ke dalam bak pemeliharaan. Grading dan pemanenan dilakukan
dengan cara menurunkan air hingga 80%, sebelumnya dilakukan penyiphonan, hal
ini memiliki tujuan supaya kotoran-kotoran di dasar bak tidak teraduk pada saat
grading. Kemudian larva ditangkap menggunakan tudung saji yang berukuran kecil
dan berbentuk oval secara perlahan-lahan. Untuk lebih jelasnya kegiatan grading
dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Grading (Data primer, 2012)
5.8. Panen
Pemanenan dilakukan setelah larva
mencapai ukuran lebih dari 2,5 cm dimana larva sudah menjadi benih yang siap
dijual. Jumlah
ikan kerapu yang di panen sebanyak 135.000 ekor. Dari proses
kegiatan pameliharaan larva kerapu macan di CV.Dwi Jaya didapat SR 10 %. Benih
kerapu macan dijual dengan harga 800/ cm.
Proses pemanenan dilakukan
secara hati-hati agar ikan tidak stress. Setelah
ditangkap menggunakan tudung saji ikan dimasukkan ke dalam baskom
plastik yang diberi aliran air, selanjutnya dapat
dilakukan pemilahan ukuran atau grading. Ikan
dipuasakan terlebih dahulu atau dilakukan pemberokan sebelum dilakukan
pemanenan dan grading. Hal ini dilakukan untuk mengosongkan isi lambung agar
ikan tidak muntah atau stress pada saat proses panen maupun pengangkutannya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Subyakto dan Cahyaningsih (2003) bahwa sehari
sebelum pemanenan, ikan dipuasakan terlebih dahulu untuk mengurangi kotoran dan
mencegah muntah dalam kantong plastik pada saat transportasi.
Pemanenan
dilakukan pada pagi hari karena suhu relatif rendah. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi ikan stres selama pemanenan. Hal
ini sesuai dengan pendapat Hermawan dkk.,
(2004) berpendapat untuk menjaga agar ikan tetap sehat dan segar, pemanenannya
sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari karena suhu relatif rendah.
Setelah dilakukan pengangkatan larva dari bak pemeliharaan ke area grading,
dilakukan pemisahan larva yang tidak
sehat. Larva yang tidak sehat memiliki
bercak hitam di tubuhnya, bengkok, insang tipis, kurus, dan ciri-ciri tidak
normal lainnya yang membuat larva tersebut tidak laku terjual sehingga akhirnya
dibuang.
5.9. Pemasaran
Hasil
produksi benih ikan kerapu
CV. Dwi Jaya dipasarkan Ke beberapa daerah di pulau Bali dan luar pulau Bali. CV. Dwi Jaya juga mengekspor
hasil produksi benihnya ke beberapa negara. Daerah pemasaran CV. Dwi Jaya meliputi Pulau Bali sendiri, dan
daerah luar pulau meliputi Jakarta, Manado, Ujung Pandang, Balik Papan, Gresik,
Sidoarjo, Lamongan dan Situbondo.
Sedangkan
untuk
ekspornya meliputi negara Thailand, Singapura, Filipina dan
Jepang. Untuk pengangkutan jarak jauh pengangkutan menggunakan jasa pesawat, untuk
pengangkutan menggunakan pesawat benih yang telah dipacking dalam kantong
kemudian dikemas di dalam sterofoam dan diberi es yang telah dibalut dengan koran
untuk menjaga suhu pada saat
pengangkutan. Sedangkan pengangkutan jarak dekat menggunakan mobil pickup milik
perusahaan, dalam pengangkutan ini benih yang telah dipacking dimasukkan ke
dalam kardus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7.
Pengangkutan benih
(Data Primer, 2012)
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil
Praktek Kerja Lapang IV
yang telah dilaksanakan di CV. Dwi Jaya Desa Sanggalangit Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Provinsi Bali
dapat disimpulkan:
1.
Lokasi pembenihan kerapu macan pada CV. Dwi Jaya telah
memenuhi syarat karena lokasi pembenihan dekat dengan pantai dan jauh dari
lokasi industri (pabrik) sehingga mudah mendapatkan air laut yang bersih, tersedianya sumber air
tawar yang bersih dalam jumlah yang cukup, tersedianya sumber tenga listrik,
dan lokasi pembenihan tidak jauh dari kota sehingga transportasi lancar.
2.
Kegiatan pembenihan kerapu macan pada CV. Dwi Jaya
meliputi persiapan
pembenihan yang terdiri dari persiapan bak, pengisian air, pengadaan induk,
pemeliharaan induk, pemijahan, penanganan telur, penebaran telur, dan. pemeliharaan
larva yang terdiri dari kegiatan
manajemen pakan, pengendalian hama dan
penyakit,
serta panen dan
pemasaran.
3.
Jumlah
produksi clorela 15.000 sel/ml untuk bak berukuran 3 x 3m berisi air
sebanyak 9 ton, rotifer 15 ekor/ml dan artemia 3 ind/ml dan udang rebon 10 gr/hari.
4.
Pada
CV. Dwi Jaya menggunakan dua jenis pakan yaitu pakan alami dan pakan buatan,
pakan alami yang diberikan berupa rotifera
dan chllorela sedangkan pakan buatan
yang pelet.
5.
Daerah
pemasaran CV. DWI Jaya meliputi pulau Bali sendiri, dan daerah luar pulau
meliputi Jakarta, Manado, Ujung Pandang, Balik Papan, Gresik, Sidoarjo,
Lamongan dan Situbondo.
CV. Dwi Jaya juga melakukan ekspor ke luar negeri meliputi Thailand, Singapura, Filipina, dan
Jepang.
6.2.
Saran
Dari hasil kegiatan PKL di CV. Dwi Jaya maka dapat diberikan
saran yaitu sebaiknya perlu adanya peralatan laboratorium untuk identifikasi
dan penanganan hama penyakit.